Bang…

Bang…, aku tadi pagi ke Bogor. Liputan diskusi di Jalan Pangrango. Jalan yang biasa kita lewati setiap pulang dari Botani Square malam-malam. Aku baru tahu nama jalan itu barusan tadi. Begitulah, kalau duduk di boncengan lebih sering tidak fokus. Menyerahkan arah sepenuhnya pada pemegang kemudi. Kepada Abang.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyambangi Bogor. Kalau tidak salah terakhir itu waktu Abang wisuda ya..? Dan mood Abang kurang bagus waktu itu, sehingga kita lebih banyak saling diam. Sampai-sampai, aku bisa menamatkan novel dalam waktu sehari karena kita nyaris tidak mengobrol.

Ada rasa rindu yang menyergap waktu aku sampai tadi pagi. Rindu pada liburan mahal yang kerap kita habiskan berdua-dua. Mahal karena libur yang kupunya cuma sehari sepekan. Liburmu juga kadang-kadang dipakai untuk mengerjakan tugas sebagai asisten dosen di kampus. Terakhir-terakhir itu bahkan Abang cuma punya waktu setengah hari Sabtu untukku. Karena paginya harus mengajar dulu.

Dan aku cuma bisa datang ke Bogor sekali sebulan. Menunggu waktu gajian. Karena aku tak tahan kalau tak memanjakan Abang setiap pulang.

Berkelebat ingatan ketika melewati Terminal Bus Baranangsiang tadi. Teringat bus yang mengantarku dari Pasar Rebo setiap aku datang ke Bogor. Air liurku selalu terbit melihat pondok-pondok makan di sepanjang terminal. Aneka makanan khas Sunda dan macam-macam lalapan segar itu bikin aku tergoda. Namun niat itu selalu urung, ingat laranganmu yang mencegahku. “Itu debu mbak Wita.., nanti sakit perut loh.”

Ujung-ujungnya kita makan di KFC, di seberang Botani Square itu. Yang kemudian kita sepakati menjadi muara pertemuan. Aku selalu memesan makanan untuk Abang lebih banyak dari yang seharusnya. Dua potong ayam, nasi dan kentang goreng. Ditambah lagi puding, dan cola. Kau makan dengan lahap, sampai meringis kekenyangan.

Aku akan tertawa-tawa dan memotretmu, “Tededeh, dak pacak ngapo-ngapo,” kataku meledekmu. Dan kau hanya meringis saja. Makanmu selalu tak habis karena memang porsi yang ku pesan berlebihan. Aku malah memesan tambahan lagi untuk dibungkus, supaya bisa kau makan pagi-pagi besok ketika aku sudah kembali ke Jakarta lagi.

Sesi makan bersama ini selalu menjadi bagian kesukaanku. Karena sambil makan, cerita-cerita yang menggumpal selama jeda pertemuan saling mengalir. Cerita Abang tentang pelajaran-pelajaran baru di kampus, tentang dinamika perkawanan, dan tentang Ciapus tentu saja.

Lalu gantian aku yang menceritakan petualangan-petualanganku. Kau selalu berbinar-binar dan tak sabar menyimak ceritaku. Kadang sampai berdecak tak percaya. Kita tentu saja bertukar cerita soal hati. Tentang teman-teman dekat yang kita kagumi. Cerita-cerita yang tidak bisa kita bagi dengan orang lain. Hanya bisa kita bagi berdua.

Kau, Bang, tidak pernah menghakimiku. Tentang apa pun yang ku ceritakan padamu. Karena itu aku tak pernah segan membagi cerita apapun padamu, segala beban yang menggumpal selalu lepas mengalir ku bagi padamu, Bang.

Aku tak perlu berusaha menjadi kakak yang idealis di depanmu, Bang. Kau memahami setiap sisi lemah dan salah ku. Aku selalu bisa lepas menjadi diri sendiri saat bersamamu. Petualangan kita jauh dari rumah, telah memupuk pendewasaan untuk kita berdua.

Rasanya baru kemarin ketika kau tiba di Jakarta, dan menolak segala makanan yang ku belikan. Tak ada yang sesuai dengan selera lidahmu. Sampai-sampai aku menangis putus asa, karena merasa gagal menemani proses pendewasaanmu.

Kembali ke libur sehari kita yang mahal itu: tidak hanya makan bersama dan saling curhat. Kita lalu menyebrang ke Botani Square. Menjelajah rak-rak buku di Gramedia. Kemewahan yang bisa ku bagi padamu baru sekadar buku. Aku selalu membiarkanmu tenggelam dalam deretan buku-buku komputer atau buku agama kesukaanmu. Mengiyakan untuk buku apa pun yang kau inginkan.

Terkadang kita juga menonton film baru. Kau selalu senang, Bang, melihatku menyeludupkan makanan dari satpam-satpam bioskop yang cerewet itu. Kau akan tertawa-tawa kalau aku berhasil menyeludupkan apapun. Walau pun kadang makanan-makanan itu tidak kita makan juga karena terlalu asyik menyimak film. Atau sudah terlalu kekenyangan.

Kita baru pulang ketika hari sudah terlalu larut. Dengan motor penuh plastik belanjaan persediaan makananmu sebulan ke depan, ditambah dengan buku-buku. Kau akan menyetir kepayahan karena belanjaan kita kelewat banyak. Lalu kita berdua berdoa, berharap Bogor tidak disiram hujan.

Walaupun doa itu kadang tak manjur juga. Di perjalanan beberapa kali kita kebasahan diguyur hujan deras. Masih ingat waktu kita berteduh di dekat tukang martabak dan sama-sama menggigil kedinginan? Berjam-jam di sana tapi hujan tak juga reda, sementara waktu merayap ke tengah malam. Ujung-ujungnya kita pun pulang menerabas hujan. Membeku kedinginan ditampar angin gunung Salak.

Aku selalu enggan bangun setiap minggu pagi. Menunda keberangkatan ke Jakarta satu jam lebih lama. Atau bahkan lebih. Kadang Abang sampai cemberut karena tak jelas aku berangkat jam berapa. Agenda-agendamu jadi tertunda karena aku masih bergelung di kasur.

Di perjalanan kembali ke Jakarta, selalu saja ada sesal. Merasa ada yang belum ku lakukan untukmu. Entah belum mencuci pakaian kotormu yang menumpuk, atau membuatkanmu kentang goreng seperti yang biasa dibikinkan Ibu kita di rumah.

Yang jelas, Bang, aku sedang kangen sekali padamu. Kalau saja tadi kau ada di Bogor, seberes liputan kita pasti sudah bersenang-senang bersama. Sudah menumpuk cerita yang ingin ku bagi padamu, Bang. Tapi rindu yang membuncah itu patah, ketika siang tadi kau tidak merespon bbm dan teleponku. Apa kabar, Bang? Sedang apa di sana? **

Kedoya, Warung Bebek Surabaya selepas liputan dari Bogor

edisi romantis suap-suapan eskrim uhuk..
24103_1383543316051_1456039248_30983315_3467450_n
beli sepatu murah kembaran 😀
IMG02041-20100501-1117