Perempuan itu enggan beranjak dari sofa panjang cokelat tempat suaminya tidur. Tubuhnya menolak berbaring di tempat tidur rumah sakit. Suami istri itu saling menggengam tangan, tidur meringkuk bersempit-sempitan di sofa seadanya yang disediakan di kamar itu. Mereka tengah saling menentramkan risau yang terus berdesau.
Hampir tengah malam ketika pintu kamar ruang Catleya itu diketuk. Suster mengantar sepiring nasi goreng. “Ini dimakan sekarang sebelum mulai puasa ya, Bu.”
Dijawab anggukan dengan muka enggan.
Kamar itu sudah bau pizza dan keju. Sang suami membeli seloyang pizza di restoran seberang rumah sakit, sesaat setelah kamar itu dipesan. Tapi pizza yang biasanya jadi kesukaan mereka berdua tak lagi nikmat. Menyelesaikan kunyahan seiris saja setengah mati lamanya. Tapi nasi goreng itu disentuh juga. Satu dua suap sekadarnya.
*
Mereka berdua sudah lama menunggu hari ini. Tanggal yang mereka tentukan sendiri untuk kelahiran anak pertama mereka. Rangkaian persiapan sudah dijalani sejak tadi pagi. Mulai periksa darah, tes jantung yang mengharuskan perempuan itu bertelanjang dada dan banyak kabel ditempeli di dadanya. Mesin-mesin berdenyut menghitung detak. Sampai mendaftar di ruang persalinan.
Di ruang persalinan itu, si perempuan diminta menghitung jumlah gerak bayinya. Ia diminta menekan sebuah tombol setiap bayinya bergerak. Mesin lain ditempelkan di perutnya untuk menghitung detak jantung si bayi. Perempuan itu berbaring sendiri, sang suami tak boleh masuk.
Hening dan degup kencang jantung si bayi, seperti menghitung cemas dirinya. Di ruang sebelah, dua perempuan lain tengah bertaruh nyawa lebih dulu, menjalani persalinan normal. Merintih, menjerit menahankan sakitnya. Dokter Inayat yang menangani persalinan mereka, meminta peran aktif suami mendampingi, merekam dan memotret proses lahir anak mereka.
“Kelahiran adalah proses yang menakjubkan. Kelahiran itu keajaiban yang luar biasa. Suami harus menyaksikan dan mendampingi istrinya,” begitu kata dokter Inayat pada setiap pasangan suami istri yang menjadi pasiennya. Termasuk pada perempuan itu dan suaminya.
*
“Tidurlah.. En perlu istirahat..” kata sang suami mengusap kepala istrinya.
Perempuan itu makin tak tenang, ia menghitung waktu. Hanya tinggal empat jam lagi sebelum proses lanjutan dilakukan. Operasi akan dimulai pukul 08.00 WIB. Dengan enggan ia menyeret kakinya, berbaring juga di kasur rumah sakit itu. Memaksa dirinya dan bayinya untuk tidur.
“Besok kita bertemu, Nak. Semoga semuanya lancar dan baik-baik saja,” gumam perempuan itu pada bayi di perutnya.
*
Suster tak menoleransi waktu. Tepat pukul 04:00 ia mengetuk pintu. Membangunkan perempuan itu. Dengan enggan dan pasrah ia membiarkan suster menyemprotkan obat pencahar melalui anusnya. “Reaksinya kira-kira 10 menit lagi.” Kata si suster sambil tersenyum. Dan beranjak meninggalkannya lagi.
“Nanti siap-siap ke ruang operasi jam 07.00 ya, Bu.”
Selera tidur perempuan itu hilang sekejap. Mulas di perut tak henti-henti. Terkantuk-kantuk ia duduk di kakus mengeluarkan isi perutnya. Sekalian saja ia mandi dan bersih-bersih, menyiapkan diri.
*
Pukul 07.00 suster menjemput dengan kursi roda. Sang suami belum bersiap. Baru saja rampung mandi. Masih agak mengantuk karena kurang tidur. Terpaksalah sang istri berangkat lebih dulu ke meja eksekusi.
Ruang operasi itu terdiri dari tiga ruangan. Dua ruang eksekusi, dan ruang pemulihan. Di ruang pemulihan ini pasien bersiap. Berganti baju, pasang infus dan lain-lain. Perempuan itu bukan satu-satunya pasien hari ini. Seorang laki-laki paruh baya sudah terbaring pasrah penuh doa di tempat tidur. Menunggu gilirannya dipanggil. Suster pengantar menyerahkan perempuan itu pada petugas-petugas ruang operasi.
Para petugas itu juga suster-suster yang khusus bekerja di ruang operasi. Juga ada seorang dokter anastesi. Mereka semua berbaju hijau dan memakai plastik tutup kepala serta masker dengan warna yang sama. Seorang petugas yang hanya nampak matanya, memasangkan infus di salah satu pergelangan tangan perempuan itu.
Mereka menyita kaca mata dan blackberry perempuan itu. Si pasien baru rela menyerahkan barang miliknya setelah dijelaskan oleh para petugas, bahwa dirinya kelak tak kan bisa melakukan apa-apa selama proses operasi. Termasuk memotret dan merekam peristiwa di ruang operasi.
“Suaminya nanti ikut ke dalam kan?”
“Iya..”
“Ya berarti nanti suaminya saja yang rekam dan foto-foto.”
Sesudahnya, petugas yang lain mengantar perempuan itu untuk berganti pakaian. Perempuan itu diminta melucuti seluruh pakaian di tubuhnya, dan mengganti dengan sehelai baju yang diberikan si petugas tadi.
Pakaian khusus pasien operasi itu tak ada kancing atau resleting. Hanya tali-tali yang harus diikatkan di belakang tubuh. Itu pun tak rapat menutup punggung dan bokong, ada celah kira-kira dua tiga senti yang terbuka. Membuat perempuan itu malu dan berusaha terus merapatkan sehelai pakaiannya itu.
“Sudah bercukur?” Tanya si suster.
Yang dimaksud adalah mencukur rambut kemaluan. Menjadi syarat wajib dalam operasi caesar.
“Sudah,” jawab perempuan itu singkat. Ia sudah meminta suaminya untuk mencukurkan dua hari lalu. Malu kalau harus dicukurkan oleh orang lain. Sementara diri sendiri sudah tak bisa melakukannya. Perut membuncit sudah menghalangi dan membuatnya sesak kalau harus menunduk-nunduk.
Dan akhirnya, petugas itu menyuruhnya berjalan sendiri ke ruang operasi. Cuma kepasrahan yang ia punya. Cemas atau tidak, proses ini tetap harus dijalani. Dan tak ada gunanya jika ingin mengulur waktu.
Seorang perempuan tua berwajah bundar dengan rambut keperakan mencoba tersenyum ramah dari balik maskernya. Ia adalah dokter anastesi yang akan membiusnya. Perempuan itu diminta memeluk sebuah bantal sesaat setelah duduk di meja operasi. Bantal itu untuk menahankan sakitnya.. Sebentar lagi.
Selang berapa detik saja, perempuan itu merasakan jarum tajam menembus tulang belakangnya. Lebih lama dan lebih dalam menusuk daripada suntikan biasa atau jarum infusnya tadi. Reaksi tubuh membuatnya memeluk bantal kuat-kuat, menahankan sakit. Dan hap. Begitu rupanya rasa dibius. Badannya mendadak sekaku kayu. Otaknya memerintahkan jari-jari kakinya bergerak. Namun tak ada reaksi apa-apa.
Perempuan itu panik dalam diam. Matanya menatap kakinya yang tak menuruti perintah, lalu pandangnya beralih pada senampan pisau dan gunting di sebelah kanannya. Para petugas membaca kepanikan dari matanya.
“Ibu tenang saja, jangan takut, jangan panik.”
Dengan bertenaga para petugas mendorong badan perempuan yang sudah kaku terbius itu rebah di meja operasi. Kedua tangannya direntangkan di kanan kiri dan diikat. Selang oksigen dipasangkan di hidungnya. Selembar kain hijau dipasang memalang pandangan matanya ke arah perut yang akan dibedah. Ia merasakan baju operasinya tadi disingkap hingga dada. Memaksa pikiran dan perasaannya tunduk pada kepasrahan, agar tak lagi coba melawan.
Kesadarannya hanya separuh. Matanya terkantuk-kantuk. Ia bisa merasakan oksigen mengalir kencang menggelitiki hidungnya. Dalam kerjap-kerjap itu ia melihat tim dokter sudah lengkap. Lalu disusul suaminya yang juga berpakaian serba hijau, wajahnya ditutupi masker, hingga hanya tinggal mata yang nampak. Dari garis di matanya, ia tahu suaminya tersenyum menguatkan. Namun perempuan itu tak sanggup bicara apa-apa, walau hanya sepatah kata. Hanya matanya sebentar pejam sebentar terbuka, menatap suaminya.
“Foto dulu dong pak,” ujar para dokter sebelum memulai operasi. Perempuan itu sempat melihat para dokter dan suster itu tetap bergaya meski wajah mereka ditutupi masker.
Dan 1.., 2.., 3… Ada lagu mengalun. Sealbum lagu Tulus mengalun jernih dengan volume maksimal dari speaker kualitas nomor satu di ruang operasi itu.
Perempuan itu pikir.., ia akan mendengar dialog-dialog mengerikan dalam hening selama proses operasi berlangsung. Dialog seperti, “Tolong ambilkan pisau nomor sekian.” Atau “Itu posisi pisaunya terlalu kiri.” Atau semacamnya. Tapi ternyata dialog yang dia dengar adalah bincang-bincang tentang pemilu presiden seperti di warung kopi. Hari itu, Selasa, 20 Mei 2014 bertepatan dengan pendaftaran terakhir pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di KPU.
“Saya sebetulnya pengen Dahlan Iskan jadi Presiden. Tapi ya bagaimana, konvensi Partai Demokrat begitu hasilnya. Tidak ada capres yang maju,” kata salah seorang dokter.
“Saya sreg saja sama Jokowi. Tapi saya kuatir ia terlalu dikendalikan Mega,” kata suara yang lain.
Dialog mereka berakhir dengan suara senada, kemungkinan akan memilih Prabowo Subianto di pilpres nanti. Ternyata dialog itu tak sampai sepanjang siaran dialog politik pada waktu tayang prime time di televisi. Karena tak lama sesudahnya dokter kepala memanggil suami si perempuan yang tengah digores perutnya itu.
“Bapak siap-siap, anaknya sudah mau keluar.”
Dan si suami yang dari awal sudah menguatkan mentalnya, masih terus kuat dan tetap tenang merekam juga memotret proses persalinan istrinya itu. Tentu ini saat paling mendebarkan dalam hidupnya. Menyaksikan kelahiran anak pertamanya.
Para dokter serius bekerja. Segaris kulit perut yang sudah digunting tadi, dibuka lebih lebar dengan kedua tangan dokter yang bersarung tangan. Lalu mereka mengambil alat serupa vacum untuk menarik kepala si bayi. Dengan bunyi “POP!” Kepala si bayi menyembul dari perut perempuan itu. Mata si bayi masih terpejam. Mungkin ia tidur. Dokter segera memasukkan selang ke hidung si bayi, menyedot banyak cairan.
Si bayi yang badannya masih berada di dalam perut perempuan itu mulai menangis. Karena selang yang menyolok hidung didorong sampai jauh melewati kerongkongannya. Itu tangis pertamanya.
“Selamat hari kebangkitan nasional, nak! Selamat bapak, ibu, bayi laki-lakinya sehat,” Kata si dokter kepala.
Tim dokter kemudian menarik badan bayi laki-laki itu keluar, mengurai tiga lilitan tali pusar di badan si bayi.
“Kalau lilitan tali pusarnya banyak, biasanya nanti anaknya jadi ganteng. Pantes pake baju apa aja,” masih kata si Dokter Kepala.
Bayi laki-laki berkulit putih itu kemudian dibawa keluar ruangan untuk ditangani dokter anak. Si laki-laki yang kini resmi menjadi ayah itu juga diminta keluar ruangan. Tugas penting menunggunya. Mengumandangkan adzan di telinga anaknya.
Sementara si perempuan masih harus menjalani proses jahit yang membuat tubuhnya terguncang-guncang. Sebelum dikembalikan ke ruang pemulihan.
Dan di ruang pemulihan itulah, ia pertama kali menatap wajah bayinya. Perih pelan-pelan melipir memenuhi luka di perutnya yang basah. Air mata perempuan itu berlinangan. Bukan karena perih luar biasa yang makin lama semakin tegas terasa. Tapi karena rasa haru menatap anak pertamanya.
Untuk pertama kalinya ia menyentuh pipi halus bayinya. Sang bayi tertidur dalam bungkusan rapat bedong dan topi merah jambu yang diberikan perawat. Ada lekuk di tengah bibirnya yang kemerahan. Ada belah di dagu bayinya. Persis seperti dagunya…
“Halo, Nak. Akhirnya kita bertemu juga. Bumi Dipantara Perdana.” Kata perempuan itu mengecup kening sang bayi. “Bumi.. Bumi.. Bumi..” Perempuan itu memanggil di antara haru dan pedih lukanya, tangannya terus mengusap pipi anaknya. Sang bayi hanya menggeliat pelan, lalu tertidur lagi. Menyandarkan kepala di tangan ibunya..
  Â