Catatan Oktober 2008
Anak kemarin sore itu masih gagap melihat ibu kota. Semua serba baru untuknya. Kota ini berlipat-lipat lebih luas dari kota tempatnya tinggal di Palembang. Padat minta ampun, serba semerawut, macet, gedung-gedung menjulang bersusulan, dan manusia yang serba apatis dan minim toleransi.
Dan dia, anak kampung yang punya mimpi menjadi penulis, tengah mencemplungkan diri pada kota mengerikan ini. Dia belum pernah mendapat pelajaran, bagaimana caranya menjadi wartawan. Apa yang harus dilakukan di kota ini? Sedang menjalankan tugas-tugasnya sebagai koresponden pun masih jauh dari sempurna.
Yang dia punya hanyalah semangat. Keyakinan kalau langkahnya sejauh ini adalah jalan untuk mewujudkan mimpinya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyerah sesulit apapun pekerjaan barunya ini. Dia akan belajar dari para wartawan senior di tempatnya bekerja.
***
Jauh sebelum sampai ke Jakarta, ia sudah mencatat satu nama yang ingin ia temui. Shanty Sibarani. Niat kuat yang bermula dari rasa kesal, gondok dan kagum yang tumbuh sekaligus.
Suatu ketika, di Palembang sana, ia meliput penangkapan teroris. Saat itu wartawan yang berada di tempat kejadian, memiliki keterbatasan akses ke sebuah rumah yang menjadi lokasi penangkapan. Ia dan wartawan lainnya hanya bisa bergerombol duduk di atap salah satu rumah warga. Memantau para petugas mengangkut karung-karung entah berisi apa dari dalam rumah. Semua polisi dan petugas gegana kunci mulut, membuatnya frustasi. Sementara redakturnya di kantor, menagih features dari liputannya.
“Bagaimana cara menulisnya? Kita tidak mendapat cukup informasi untuk diceritakan.” Ia bertanya kepada seorang wartawan senior yang ia temui di lapangan.
“Ya mau bagaimana lagi, tulis saja apa adanya. Jawab si wartawan senior.
Jawaban itu mengecewakannya. Mematahkan api semangatnya. Ia berpikir tentu ada cara untuk meliput lebih baik. Ibu redaktur tidak mungkin menugaskan hal-hal yang tidak masuk akal.
Besok harinya, terbelalaklah ia melihat berita utama koran. Penangkapan teroris di Palembang ditulis lengkap dengan deksripsi yang nyata. Jumlah bahan pembuat bom rakitan yang diamankan polisi. Letak penggeledahan di dalam rumah dan lainnya. Di berita itu tidak tertulis namanya sebagai penulis utama. Yang ada adalah nama Shanty Sibarani.
Dalam hati ia malu, merasa gagal. Hebat sekali orang ini, pikirnya. Si anak kemarin sore mencatatkan niat untuk menemui Shanty Sibarani saat ada kesempatan untuk ke Jakarta. Ia ingin belajar dari si wartawan senior…
***
Dan sampailah kesempatan itu. Ibu redaktur mengenalkannya pada si wartawan senior.
“Katanya kamu mau belajar sama kak Shanty. Itu temui dia.”
Si anak kemarin sore geragapan. Nyalinya belum cukup. Ada rasa minder juga malu bertemu wartawan hebat. Pertemuan pertama itu di ruang redaksi kantornya. Penampilan Kak Shanty jauh dari bayangannya tentang wartawan yang ia temui selama ini. Kumel dengan tas ransel di punggung, sandal gunung atau sepatu seadanya. Kak Shanty cantik dan wangi. Rambutnya yang hitam sebahu digerai rapi. Bibirnya diwarna merah terang. Seragamnya rapi dengan setelan celana panjang. Sepatunya hitam dengan hak tinggi. Tasnya seperti tas perempuan kantoran yang disandang di bahu.
“Aku mau belajar dari Kak Shanty.” Kata si anak kemarin sore mengenalkan diri dengan penuh keragu-raguan.
Tapi ternyata nyalinya langsung ditantang.
“Ya udah, besok elu ikut gue ke Polda. Lu wawancara si Yati itu, pelaku mutilasi.” Kata Kak Shanty. Senyum rekah di bibirnya yang merah terang.
Yati adalah tersangka mutilasi yang baru ditangkap petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya. Ia telah membunuh suaminya sendiri dan memutilasi tubuh sang suami menjadi 13 potong. Potongan-potongan tubuh suaminya itu dikumpulkan di plastik dan karung, kemudian dibuang di tempat-tempat terpisah. Di antaranya di bus Mayasari Bhakti dan di sebuah taksi yang ditumpanginya. Yati murka karena tak habis-habisnya disiksa lahir batin oleh laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.
Glek! Si anak kemarin sore ciut nyali. Mau mundur tapi malu hati, tadi sudah lancang memberanikan diri minta diajari.
“Kenapa lu? Takut?!” cetus Kak Shanty.
Ia menggeleng. Ah, sudah kepalang tanggung! “Aku mau belajar sama Kak Shanty,” katanya mantap.
***
Dan besoknya, berangkatlah ia ke Polda Metro Jaya. Si anak kemarin sore, yang masih anak bawang mendapat kemudahan akses masuk ke segala ruangan dengan mengekor Kak Shanty. Ketika wartawan-wartawan lain duduk seharian di luar ruangan menunggu pejabat kepolisian bersedia keluar ruangan untuk diwawancara, Kak Shanty melenggang keluar masuk menemui pejabat yang ingin ia temui.
Hari itu ia belajar dari Kak Shanty. Melihatnya mengobrol lepas dengan berbagai pejabat di kepolisian. Makan siang bersama di ruangan si pejabat. Dan mendapat banyak informasi yang belum didapat wartawan lain. Bahkan si petinggi kepolisian yang hendak diwawancarai langsung di radio, sempat minta diajari dulu sama Kak Shanti, bagaimana menyampaikan informasi yang tepat saat diwawancarai.
Hari pertama belum berhasil. Petugas yang mengawal Yati menyarankan agar besok datang lagi. Emosi Yati sangat tidak stabil. Dan ia sangat membenci wartawan. Si anak kemarin sore ini melihat Yati yang menatap ke arah wartawan penuh marah saat ia selesai diperiksa. Mungkin ia tak suka ditanya-tanya bagaimana dan mengapa ia membunuh suaminya.
Jantung si anak kemarin sore berdegup kencang tak karuan saat berpapasan dengan si tersangka. Yati berperawakan kecil. Kulitnya gelap. Rambutnya pendek di atas bahu.
*
Dan hari kedua, ia kembali melanjutkan misi mewawancarai si pelaku mutilasi. Dalam hati ia setengah berharap kak Shanty membatalkan rencana. Tapi setengah perasaannya yg lain, juga berharap dirinya berhasil melaksanakan tugas. Hari itu ia dilepaskan sendiri. Ia masih mendapat kemudahan akses untuk menemui Yati, karena Kak Shanty sudah menitipkannya pada petugas pemeriksa Yati dan pengacaranya, Haposan Hutagalung.
Yati diperiksa di salah satu ruang pejabat kelas bawah di kantor kepolisian itu. Ruangan disekat kaca yang hanya transparan di bagian bawah dan atasnya. Di tengah-tengah kaca diburamkan. Persis seperti ruang ATM. Sehingga yang nampak dari luar hanyalah kaki-kaki orang yang berada di dalam ruangan. Ia harus menunggu. Yati baru bisa ditemui setelah selesai menjalani pemeriksaan.
Pengacara Yati memintanya menyamar sebagai istri salah seorang petugas kepolisian yang bersimpati kepadanya. Jangan mengatakan identitas sebagai wartawan kalau tak ingin Yati meledak marah.
Si anak baru mencuri lihat petugas membawa karung berat ke ruangan itu. Dan kemudian dijejerkanlah segala benda tajam itu. Parang, celurit dan lain-lain. Yati sedang menuturkan kepada petugas parang digunakan untuk memotong bagian tubuh suaminya yang mana, juga benda tajam lainnya.
Seorang laki-laki paruh baya berpakaian lusuh duduk di dekat si anak kemarin sore. Air mukanya kolaborasi ketakutan dan mau muntah. Sama seperti si anak kemarin sore, fokus laki-laki itu pada Yati yang tengah diperiksa.
“Bapak kenal Yati?” Tanya si anak kemarin sore membuka percakapan.
“Gila itu orang! Dia bunuh suaminya sendiri. Mayatnya dicincang, dibuang ke mana-mana.”
Si anak kemarin sore terperanjat mendengarkan laki-laki paruh baya yang bicara berapi-api penuh marah. Laki-laki itu rupanya kenek bus Mayasari Bhakti. Bus tempat Yati meninggalkan beberapa potongan tubuh suaminya.
Si kenek menuturkan kisahnya. Beberapa hari jelang Idul Fitri, ia resah. Tak punya cukup uang untuk membeli daging. Jelang berbuka puasa, ia melihat plastik gemuk hitam milik penumpang tertinggal di salah satu kursi. Dipegang-pegangnya plastik itu. Dirasakannya tekstur daging mentah yang kenyal dan empuk.
Si kenek girang kepalang. Ia pikir ada orang belanja daging untuk memasak rendang sajian lebaran, dan tertinggal di bus. Ia anggap itu rejekinya. Ditentengnya plastik hitam gemuk itu pulang ke rumah. Sempat dibawanya ke rumah makan, tempat ia berbuka puasa sebelum pulang.
Dan kagetlah ia ketika membuka plastik hitam gemuk itu berdua istrinya di rumah. Sepasang kaki yang dipotong dari pergelangan kaki mencuat dari plastik, sudah bau, menggembung dan busuk. Suami istri itu muntah-muntah, jijik dan ketakutan.
“Itu dia tu mbak orangnya. Orang sintiiing! Gilaaa!!” Kata laki-laki itu frustasi sambil menahankan mual di ujung kerongkongan.
“Mbak nemu potongan mayat suaminya juga ya?” Si kenek mencari teman senasib.
Belum sempat si anak kemarin sore menyahut. Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Para penyidik sudah selesai meminta keterangan Yati. Sekarang gilirannya masuk. Alih-alih sempat menguatkan mental, dialognya dengan si kenek bus malah membuat kecemasannya jungpalitan. Tapi ia harus maju. Ia tidak boleh mengecewakan dan membuat malu kak Shanty.
Diketuknya pintu, dilihatnya Yati masih merokok dengan raut muka waspada. Pelan-pelan ia masuk, hanya berbekal sebungkus roti dan minuman sari kacang hijau yang tadi sempat dibelinya untuk Yati. Petugas menutup pintu ruangan itu. Meski petugas menunggu di luar, dan bisa memantau gerak orang di dalam ruangan lewat gerak kaki, tetap saja hati si anak baru ini cemas. Sekali saja emosi Yati tersulut, mudah saja kalau Yati mau menyambar asbak di depannya dan menghantamkan ke kepala pengganggunya ini.
Tak ada buku catatan atau alat perekam. Ia harus tenang, karena hanya mengandalkan ingatan. Yati bisa menerima ‘kunjungan simpati’ itu dengan terbuka. Lancar ia bercerita kisah sampai membunuh suaminya.
Yati menuturkan rasa bersalahnya pada anak-anak dari suaminya terdahulu. Karena itu ia menolak dikunjungi anak-anaknya. Biar dosa dan malu putus pada dirinya sendiri. Tak usah menyambung pada anak-anaknya yang tak tahu apa-apa. Yati pilu oleh dosanya sendiri. Sudah meninggalkan anak-anak dan suaminya yang setia karena mabuk cinta pada laki-laki cinta pertamanya, kini menjadi pembunuh pula. “Sekarang anggap saja saya sudah tak ada. Tak punya hubungan apa-apa lagi dengan mereka,” tuturnya getir.
Yati malah mengingatkan si pembesuknya ini untuk berhati-hati mencari pasangan kelak. Agar jangan bernasib malang sepertinya. Badan habis disiksa suami. “Jangan hanya karena cinta saja neng, kita jadi buta. Lalu akhirnya kita menderita. Seperti saya ini.”
Yati memeluk si anak kemarin sore dengan tulus sebagai tanda perpisahan. Yati berjanji, jika tamunya datang lagi akan diajarkannya membuat kue-kue jajanan pasar. Perempuan sadis yang murkanya meletup itu ternyata masih punya perasaan dan naluri kasih sayang. Wawancaranya selesai dengan manis. Segala kekhawatiran di kepalanya tidak terjadi.
Si anak kemarin sore pulang dengan langkah ringan. Senyumnya rekah sendiri seperti perempuan sedang jatuh cinta. Perasaan senangnya meledak-ledak. Apalagi ketika di luar gedung, para pewarta masih duduk bosan menunggu Yati keluar bisa diwawancarai. Si anak kemarin sore berjalan dengan kepala tegak, ia terlalu riang untuk menghiraukan tatapan-tatapan tak suka dari rekan seprofesinya. Di halaman Polda Metro Jaya itu ia melompat kegirangan dan tertawa sendiri. Ia ingin segera pulang dan merampungkan tulisannya.
Dari kak Shanty ia mencatat. Pelajaran pertama menjadi seorang wartawan adalah soal keberanian. Dengan berbekal rasa berani, yang lain-lain bisa menyusul dipelajari. Namun ketika tidak bisa menaklukan ketakutan diri sendiri, maka segala hal yang dipelajari akan sia-sia.