Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre vitchek dan Rossie Indira
(3) Apa yang dulu kami cita-citakan dan perjuangkan dengan yang sekarang merupakan dua hal yang sangat bertolak-belakang. CIta-cita dahulu adalah keutuhan nasional dalam segala hal. Soeharto membuat semuanya rusak. Persekutuan antara Angkatan Darat dan Golkar melahirkan Orde Baru-yang bertanggungjawab atas pembunuhan kurang-lebih dua juta orang. walaupun jumlah yang tepat tidak diketahui sampai sekarang.
Bahkan generasi muda yang kita salut karena berhasil menurunkan Soeharto tidak mampu melahirkan seorang pemimpin, sampai sekarang.
(4) Saya dibesarkan dalam keluarga beraliran nasionalis kiri yang tentu saja tidak setuju dengan sistem kolonial. Pandangan-pandangan saya cenderung beraliran kiri, yang berarti saya tidak mengekor pada kekuasaan, tetapi pada rakyat.
(5) Individualitas tidak diajarkan dalam keluarga kita. Keberanian individual tidak pernah ada, kecuali di Aceh. Yang ada adalah semangat kelompok saja. Masyarakat kita berani hanya kalau mereka berada dalam satu kelompok. Hasilnya, ya, seperti yang banyak terjadi sekarang ini: tawuran desa lawan desa, kampung lawan kampung, pelajar lawan pelajar, bahkan tawuran mahasiswa lawan mahasiswa! Semua ini begini karena kurangnya individualitas dan kepribadian.
(6) Di dalam kehidupan keluarga di Indonesia sekarang ini, keluarga tidak mengajarkan anak-anaknya untuk berproduksi, mereka hanya diajarkan bagaimana mengonsumsi saja. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli. Jadi suruhan saja dalam hidupnya. Dan ketika mereka tidak bisa berproduksi, mereka berusaha dengan korupsi: membuat orang lain korupsi atau dirinya sendiri yang melakukan korupsi. Indonesia sekarang ini bersatu, tapi untuk hal-hal yang tidak benar. saya kira ini jawabannya mengapa Indonesia sekarang ini jadi begini. Benar atau tidak, saya tidak tahu.
(8) Kebanyakan sih tidak bisa menghilangkan rasa minder tersebut. Itu sebabnya mengapa sampai seakrang orang yang kagum atas segala sesuatu yang berasal dari luar negeri: mereka selalu memilih barang luar negeri ketimbang bikinan dalam negeri sendiri. Yang membuat saya sedih adalah bahwa hal ini termasuk dalam penggunaan bahasa. Di sini, semakin bisa menguasai bahasa-bahasa (asing) semakin bangga rasanya. Hal ini berarti tidak mempunyai kepribadian. Kita tidak bangga dengan diri kita sendiri.
(21) Orang Indonesia itu aneh, beraninya kalau punya jabatan, kalau sudah tidak punya jabatan jadi bukan siapa-siapa lagi.
(22) Karena di penjara kami sangat sedikit mendapat makanan. Saya ingat, pernah dalam satu hari enam orang yang dekat dengan saya mati karena kelaparan.
(31) Ketika mereka mau menahan saya, mereka berkata: “Mari Bung Pram, kami akan amankan.” Itulah pertama kalinya saya mengetahui bahwa diamankan berarti ditahan (tertawa).
Segeralah setelah itu saya ditahan dan semua milik saya dirampas, termasuk apa yang saya pakai pada saat itu, termasuk jam tangan. Penahanan ini terjadi pada tanggal 31 Oktober 1965. Saya dibawa dengan truk dan dipukul pakai popor senapan beberapa kali sampai hampir tidak sadar. Sampai sekarang mereka belum mengembalikan apa yang sudah dirampas dari saya, bahkan 37 tahun kemudian. Rumah saya yang di Rawamangun sampai sekarang belum dikembalikan.
Pada saat itu istri saya habis melahirkan di tempat lain. Dia diberitahu oleh seorang tetangga bahwa saya ditahan. Dia segera pulang ke rumah, tapi sudah tidak bisa masuk rumah lagi. Pada saat itu dia menyaksikan pembakaran kertas-kertas saya di belakang rumah, termasuk delapan naskah yang belum diterbitkan. Seluruh isi perpustakaan saya dibakar. Pembakaran naskah tersebut adalah hal yang tidak bisa saya maafkan! Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka. Bertolak-belakang dengan budaya menulis karena merupakan kerja kreatif.
(32) Teman saya itu menyarankan agar saya melarikan diri, tapi saya pikir saya harus pergi ke mana. Ini kan rumah saya dan saya harus mempertahankannya. Tapi pada akhirnya saya ditahan juga, karena saya tidak bisa melawan satu pleton tentara sendirian.
Pada saat itu saya juga bekerja di beberapa tempat. Salah satunya saya bekerja sebagai penasihat di pabrik pensil. Ketika mereka meyadari bahwa keadaan sudah sangat kacau, mereka datang membawa gaji saya untuk tiga bulan. saya juga bekerja sebagai dosen di Universitas Res Republica, dan mereka juga membayar gaji saya selama tiga bulan. semua ini terjadi sebelum saya ditangkap, dan tentu saja saya membawa semua uang tersebut pada saat saya ditangkap. Mereka merampas itu juga. Keluarga saya sudah mengungsi terlebih dahulu karena keadaan genting. Saya kehilangan semuanya, dan saya tidak bisa membiayai keluarga saya.
(33) Yang ditanyakan kepada saya hanyalah nama dan alamat saya, tapi berulang-ulang. Seperti yang sudah saya katakan, tidak ada pengaiayaan, tapi semua milik saya dirampas. Semua kertas-kertas dan naskah saya dibakar, dan setelah itu buku-buku saya dilarang. Saya yakin hal ini semua sudah direncanakan.
Sama sekali tidak ada interogasi dan tidak ada proses verbal. Saya bisa dibilang hilang begitu saja. Hanya bertahun-tahun kemudian, setelah saya dibebaskan dari kamp konsentrasi di Pulau Buru dan masih dalam tahanan rumah, pada tahun 1988 tiga orang jaksa dari Kejaksaan Agung datang untuk memeriksa saya. Dengan mereka inilah pertama kalinya ada proses verbal, ada dua proses verbal. Saya menuntut supaya dibuka ke pengadilan, dan mereka setuju. Tapi tentu saja tidak pernah ada pengadilan.
(34) Tentang masih selamatnya saya, saya punya satu hal yang perlu diceritakan: suatu kali kelihatannya ada perintah untuk membunuh saya, tapi komandan kampnya tidak berani untuk melaksanakannya. Setelah itu, sudah terlalu banyak tekanan dari dunia internasional, sehingga saya masih selamat sampai sekarang.
(37) salah seorang rekan tahanan di Buru melihat ikan di tebat. Dia sering kehilangan ikan-ikannya, dan ternyata militer yang mencuri. Sewaktu mereka tahu bahwa rekan saya ini yang mengintip mereka dalam menjalankan aksi pencurian ikannya, mereka menembaknya langsung di tempat. Dia mati seketika.
Kemudian, seorang teman tahanan juga menyimpan sesobek kertas koran bekas bungkus. Kami tidak diperbolehkan membaca samasekali, dan ketika tentara mendapatkan bahwa dia menyimpan sepotong koran bekas, mereka mengikat dan menggantungnya. Dua hari kemudian kami menemukan mayatnya mengapung di sungai.
(38) Suatu ketika saya hampir saja ditembak, tapi seorang teman memukul senapan penjaga yang akan menembak saya sehingga tidak kena saya. Mau tahu alasannya mengapa mereka mau menembak saya? Ketika kami dikirim ke Buru, setiap tahanan hanya diperbolehkan membawa dua stel pakaian. Dan karena kami harus bekerja di ladang atau di sawah setiap hari, tentu saja pakaian saya lama-kelamaan rusak, tidak bisa dipakai lagi. Dan karena pada malam hari di gubuk terasa dingin sekali, maka saya harus puny apaling tidak satu set pakaian untuk tidur. Jadi untuk ke ladang saya memakai cangcut karung plastic. Ketika militer melihat saya, mereka bilang saya menghina kebudayaan Timur dengan memakai pakaian itu. Benar-benar mereka akan menembak saya hanya karena pakaian yang saya pakai pada waktu itu!
Satu hal yang jelas sekali adalah bahwa kalau saya tidak dimonitor oleh masyarakat internasional, maka pasti saya sudah mati sekarang.
(39) Pengalaman saya sebagai tahanan politik, saya tahu persis bahwa pihak pemerintah akan merampas apa yang saya tulis. Itulah sebabnya saya mengetik naskah dalam beberapa copy. Satu copy saya sebarkan di antara teman-teman tahanan sehingga mereka bisa membaca dan mengingatnya. Satu copy lagi saya berikan ke gereja, yang kemudian menyeludupkannya ke luar Buru dan kemudian mengirimkannya ke Eropa, Amerika Serikat, atau Australia. Pada akhirnya saya memang benar, mereka merampas semua naskah saya pada waktu meninggalkan Buru, termasuk surat pribadi dari Presiden Harto pada saya. Tapi tidak ada batasan untuk menulis.
(41) Kami masih harus lapor seminggu sekali ke Kodam yang ada di daerah masing-masing. Dua tahun kemudian berkurang menjadi sebulan sekali, dan di tahun 1992 saya membuat pernyataan bahwa saya menolak wajib lapor. Sejak itu setiap minggu saya dikunjungi oleh seorang intel (tertawa).
Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. Dan saya selalu berjuang.
(45-46) Sudah sejak awal kaum elit disuap oleh para penjajah, dan Jawa jatuh ke tangan penjajah itu tanpa perang. Para pemimpin kita semua tidak punya moral. Dan sejak itu tidak ada yang berubah. Sekarang para penjarah dari seluruh dunia menjarah lautan kita, tapi Angkatan Bersenjata kita yang seharusnya melawan invasi asing ini malah dihadapkan pada rakyatnya sendiri.
(48) Saya berikan kebebasan kepada anak-anak saya, tapi juga saya katakana kepada mereka bahwa mereka harus bertanggungjawab atas hidup mereka sendiri. Itu sebabnya saya sangat tersinggung kalau cucu-cucu saya minta uang. Saya tidak pernah lakukan hal itu sepanjang hidup saya. Dan ini menurut saya adalah kerugian terbesar saya dipenjarakan selama 14 tahun, karena saya tidak bisa mendidik anak cucu sendiri. Kalau saya melihat cucu saya minta uang, saya merasa hal ini adalah akibat karena saya tidak ada di sisi mereka selama saya dipenjarakan.
(50-51) Dan kalau kita tidak bisa berproduksi, maka kita hanya bisa menjadi kuli saja. Tanpa produksi tanpa karakter! Sekarang Indonesia hanyalah sebuah negara kuli, jadi yang bisa diekspor, ya, kuli, dan menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia. Merekahanya bisa mengerjakan apa yang diperintahkan dan mau melakukan apa saja asal dibayar. Jangankan bicara tentang kreativitas, hal itu tingkatan selanjutnya.
(54) Pada saat orangtua memasukkan anaknya ke sekolah dasar, mereka sudah diminta bayaran yang sagat tinggi. Hal yang sama terjadi sampai di perguruan tinggi. Ketika mereka lulus dari perguruan tinggi, mereka jadi pengangguran. Kenapa bisa begini jadinya? Siswa-siswa kita ini tidak pernah diajarkan bagaimana berproduksi dan berkreasi. Orang hanya dididik di atas kertas saja. Yang ada hanyalah gudang pengetahuan saja.
(56) Pendidikan dijadikan alat pemerasan di Indonesia. Hal ini terjadi mulai sekolah dasar sampai universitas. Dan ketika lulus, banyak yang jadi penganggur.
(58) Kemerdekaan sudah pasti harus diperoleh. Tapia pa yang dilakukan setelah merdeka yang lebih penting. Orang menjadi tidak menghormati hukum karena tidak ada yang ditakuti lagi. Sebelumnya mereka takut kepada Belanda. Yang saya tahu, setidaknya di Indonesia sekarang ini, tidak ada kaum elit yang tahu wawasan ke-Indonesia-an untuk membangun negeri ini. Semua inginnya menjadi petinggi, pembesar, tapi tidak ada prestasi pribadinya. Kosong! Bisanya Cuma ngomong saja!
(59) Kaum elit Indonesia sekarang ini bertindak sama dengan apa yang dilakukan kaum penjajah dahulu. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana memperoleh uang untuk dirinya sendiri.
(65) Dua pilar yang dibangun pasca tahun 1965 adalah hiburan dan penindasan.
(68) Bahasa Indonesia jadi brengsek sekarang ini, apalagi kalau kita perhatikan apa yang ditulis oleh media massa. Kalau mereka tidak menemukan padanan suatu kata, maka mereka langsung menggunakan bahasa Inggris. Kan brengsek jadinya dan tidak berkarakter. Salah satu bahasa yang saya kagumi adalah bahasa Jepang.
Saya pernah menulis tentang sejarah bahasa Indonesia, tapi sayangnya naskahnya termasuk naskah yang dibakar pada masa rezim ini. Saya tidak pernah bisa menuliskannya lagi. Seperti yang anda tahu, menulis itu sulit untuk diulang.
(70) para penulis seharusnya punya tanggungjawab moral yang tinggi untuk bangsanya. Mereka tidak bisa menulis hanya semaunya saja.
Penghancuran naskah adalah hal yang paling menyakitkan dan sangat traumatis. Saya masih merasakan kepedihan itu sampai sekarang. Kalau saya ingat apa yang terjadi, saya masih merasa sangat kesakitan, terutama karena saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bisa menulis kembali buku-buku itu. Tapi pada saat itu saya sudah di dalam tahanan, jadi tidak ada yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan naskah-naskah itu. Naskah-naskah tersebut belum diterbitkan pada saat itu, karena pada saat itu saya dituduh komunis dan penerbit Indonesia takut untuk menerbitkannya.
(71) Apa yang mereka lakukan terhadap buku-buku saya merupakan pembunuhan karakter. Sekarang saya hanya merasa kasihan kepada orang-orang yang melakukan hal itu, karena itu hanya menunjukkan betapa rendah budayanya. Saat itu saya menganggapnya tantangan terhadap pribadi saya, dan saya menjawabnya dengan terus menulis di penjara. Tulisan saya merupakan jawaban dan menunjukkan kepada mereka bahwa budaya saya lebih tinggi daripada mereka. Begitulah saya melawan mereka. Saya tidak tahu bagaimana orang lain berjuang, tapi itulah yang saya lakukan. Saya selalu diajarka untuk selalu berjuang, dan inilah yang membuat saya masih hidup sampai sekarang! Banyak teman-teman saya yang sudah tidak ada lagi sekarang.
(74-75) Begitulah saya berkreasi: hanya dalam satu kali tulis saja, tidak pernah menulis kembali. Dan setelah buku itu diterbitkan, saya tidak pernah membacanya lagi. Kalau say abaca kembali maka selalu saja ada keinginan untuk mengubah sesuatu (tertawa).
(75) Saya mulai menulis di tahun 1947, karena pada saat itu saya harus membiayai adik-adik saya. Pada saat itu saya menulis seperti orang gila untuk mendapatkan uang. Saya tidak bisa bekerja yang lain selain menulis (tertawa). Bisa dikatakan bahwa saya menulis untuk makan. Dari sejak awal kelihatannya pembaca menyukai tulisan-tulisan saya, jadi, ya saya teruskan.
(76) Saya mendapatkan inspirasi menulis dari kehidupan. Ketika sesuatu menyinggung saya atau membuat saya marah, saya mendapatkan inspirasi untuk melawan. Menulis buat saya adalah perlawanan. Di semua buku saya, saya selalu mengajak untuk melawan. Saya dibesarkan untuk menjadi seorang pejuang.
(77) Saya mencoba untuk tidak terlalu mengharapkan apa-apa dari dunia luar. Saya belajar untuk mengandalkan diri saya sendiri. Bahkan saya tidak pernah minta apapun dari orangtua saya sendiri.
Saya hanya bisa menulis sekali saja. Keadaan dan perasaan yang dibutuhkan untuk menulis, kan, tidak bisa diulang kembali.
(78) Ketika mengalami ketidakadilan, saya tidak merasa marah. Tapi saya menyadari budaya saya jauh lebih tinggi daripada mereka yang membuat keadilan itu.
Kalau bicara cinta, sejak muda saya sudah lakukan semuanya untuk Indonesia. Banyak orang yang menganjurkan saya tinggal di luar negeri, tapi akar saya di sini.
(78-79) Saya masih berpikir tentang Indonesia sepanjang waktu, itulah mengapa saya masih merasa kesakitan yang luar biasa. Saya tidak punya organisasi ataupun media. Jadi, ya, begini ini, dideritakan sendiri. Dan saya sudah tidak bisa menulis lagi.
(80) Saya tidak pernah menganut suatu ajaran apapun, saya hanya mengikuti ajaran saya sendiri. Belajar dari pengalaman hidup sendiri. Tapi saya percaya pada keadilan dan kesejahteraan sosial.
(82) Saya sudah tidak ingin menulis lagi. Saya hanya tinggal menunggu hari akhir saja. Banyak orang yang mengatakan bahwa saya tinggal bicara saja dan mereka yang akan menuliskannya, tapi saya tidak biasa kerjasama dengan orang lain. Saya pikir sudah cukup yang saya perlu katakan.
(86) Kita harus mengubah pola pendidikan kdi keluarga dan di sekolah. Harus belajar untuk berkreasi dan berproduksi. Kalau kita sudah bisa berproduksi maka kita akan benar-benar merdeka. Kita akan termotivasi untuk berniaga dan membuat kreasi dengan nilai yang tinggi. Tapi kita tidak punya sistem pendidikan seperti itu, jadi bagaimana mau maju? Saya tidak tahu jawabannya, benar-benar tidak tahu.
(88-89) Mereka yang melakukan korupsi tidak punya budaya berproduksi. Tidak punya karakter. Korupsi sudah menjadi penyakit sosial. Di mana-mana orang narik kutipan di sepanjang jalan. Itu namanya mengemis paksa. Sangat memalukan. Orang mengemis kalau tidak berhasil maka mereka mengancam.
(92) Saya tidak percaya pada proses pemilu lagi. Tidak ada seorang pun calon presiden yang membciarakan hal yang memang benar-benar penting, dan tidak satu pun yang punya wawasan ke-Indonesia-an.
(96) Rakyat Indonesia selalu tidak mau belajar dari sejarah negerinya sendiri. Kebiadaban yang satu selalu diikuti dengan kebiadaban yang lain.