Kelas Menulis Pak Saur Hutabarat (3)

Belajar mengedit di kepala

  • Pelan-pelan harus bisa menulis dan mengedit tulisan di kepala. Tuangkan dulu, mana yang klise lalu dibuang. Sehingga ketika menuangkan ke dalam tulisan itu sudah hasil editan. Tapi kalau belum mampu, tuliskan dulu saja baru diedit. Kalau dipaksa diedit di kepala, nanti tulisannya tidak jadi-jadi. Bikin kau lambat, padahal deadline.

Kalau belum tahu, jangan sok tahu. Harus bisa mengukur diri.

Jaman dulu waktu kami masih jadi reporter harus beli buku, lihat ensiklopedia, ke perpustakaan. Sekarang kalian lebih gampang. Di kamar mandi juga bisa sambil cari informasi. Cari referensi yang banyak untuk menulis. Isi tulisan itu tidak datang dari langit. Belajar sambil main-main, membaca, bergaul dengan pemikir besar. Motornya itu rasa ingin tahu.

Disiplinlah berpikir. Jangan masuk ke pikiran yang terlalu sempit, nanti bisa salah.

Berhentilah menulis hanya pada gejala. Yang harus dieksplorasi itu solusi.

Kelas Menulis Pak Saur Hutabarat (2)

MENULIS EDITORIAL

JUDUL

  • Judul harus memperlihatkan sikap.
  • Hindari judul yang berbau nasihat.

KALIMAT

  • Pertahankan energi tulisan hingga ending tetap menggigit.
  • Hindari kalimat klise.
  • Kalimat retorik tidak boleh terlalu sering dipakai di editorial.
  • Menulis itu clear kalau jelas apa yang kita pikirkan.
  • Di editorial derajat teknis belum tentu diperlukan.
  • Tulisan itu harus dibungkus baik hingga orang membaca sampai selesai. Yang gagal itu kalau (pembaca) hanya baca di awal dan tidak diteruskan. Padahal kita mau membuka pikiran orang. bagaimana kita membungkusnya, menulisnya, ya itu tantangannya. Bergumul dengan kalimat. Pertarungan ini yang kadang bikin kepala kita berkerut.
  • Tulisan harus disampaikan dengan kalimat editorial, bukan kalimat seorang guru atau kiyai.

PENYEBUTAN NAMA

  • Ketika kau menyebut nama, pertarungannya adalah apakah kau bisa mempertanggungjawabkannya? Kalau syarat ruang publik sudah terpenuhi, kenapa tidak. Itu tidak dosa. Asalkan sudah diuji di ruang publik. Kalau belum selesai di ruang publik kau sebut-sebut namanya, itu gombal namanya. Nanti dikira ada pesanan.

ARGUMENTASI

  • Kalau sikap tidak tegas, nanti argumentasi bisa mencla-mencle.
  • Berhenti pada gejala, yang harus dieksplorasi itu solusi.
  • Harus jelas, apa topiknya, sikap kita apa, argumentasinya gimana.
  • Di editorial tidak boleh ada pendapat pribadi, karena itu sikap institusi.
  • Salah satu yang lemah dalam argumentasi adalah menggunakan negasi. Menegasikan itu belum tentu menjawab persoalan. Contoh :Ekonomi pancasila adalah bukan ekonomi liberalisme, bukan kapitalisme. Lalu apaaa???
  • Editorial harus mendorong diambilnya kebijakan yang simultan. Ketika mengangkat permasalahan, tidak boleh berkutat di situ saja. Coba dilebarkan, simultan menjadi kuncinya. Hati-hati juga kalau melihat terlalu lebar bisa menyebabkan cair, sehingga rapuh. Harus ada yang mengkristal.
  • Hati-hati dengan generalisasi sehingga dia melampaui kenyataan. Sering kita melakukan over generalisasi sehingga gagal. Seharusnya diuji dulu, diperiksa, tidakkah ini berlebihan atau bombastis.
  • Sangat berbahaya memiliki pengetahuan yang umum, general, tapi salah. Please.., jangan sampai kita berpandangan umum dan merasa benar. Kita harus menganggap diri kita awam.
  • Jangan biarkan pernyataan tanpa didukung argumentasi. Bersikap tanpa argumentasi yang kaya akan jadi kekanak-kanakan.
  • Semua yang bersifat argumentasi memiliki dua watak. Pertama, kemampuan dia menjelaskan persoalan sehingga menjadi terang benderang. Sehingga orang mengerti oh.. begitu toh duduk perkaranya. Jadi menjelaskan kenyataan. Kedua, teori dan argumnentasi yang mampu membaca ke depan, prediksi.
  • Kekayaan editorial argumentasinya tidak boleh ditulis dengan cara ilmuwan. Tetap berbahasa jurnalistik. Editorial tetap karya jurnalistik. Walaupun di belakangnya ada argumentasi yang bersifat akademik.
  • Jangan ada lompatan pikiran, jangan sok tahu. Apa yang kongkrit solusinya. Itu saja urusannya. ‘Who’ dan ‘what’ saja. Kalau mau tambahkan ‘who’ boleh. Siapa, bagaimana caranya untuk melaksanakannya. Harus tertib pikirannya.
  • Hati-hati dalam pengambilan kesimpulan yang umum dan bersifat absolut.

 

 

 

tangguh itu…

orang yang tangguh itu bukan mereka yang berhasil bertahan hidup di alam bebas. tetapi mereka yang berani hidup di tengah masyarakat. yang bisa survive di sana. bisa berbuat untuk orang lain, berguna untuk orang lain.

-Guru Di-

Tebet, 22 Desember 2012

Ketika hujan tumpah ruah, petir berkilat-kilat, dan angin yang riuh mematahkan ranting-ranting juga mengugurkan dedaunan.

jakatra weekend (foto disalin ulang dari yang tersebar di blackberry).

perempuan di titik nol-nawal el – saadawi

15-16
Karena bagaimanapun juga, saya hanyalah seorang pelacur yang sukses. Dan betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka, telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja: untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tak pernah punya keberanian untuk mengangkat tangan saya.

17
Lagi pula siapa yang dapat membantah bahwa kepatuhan merupakan suatu kewajiban, dan mencintai tanah air kita pun demikian.

26
Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.

35
Saya berbicara tentang harapan-harapan saya mengenai masa depan. Tak ada sesuatu dalam masa lampau atau dari masa kanak-kanak saya yang dapat dibicarakan, dan tak ada cinta ataupun sesuatu yang mirip dengan itu sekarang ini. Karena itulah jika ada sesuatu yang ingin saya katakan, maka itu hanyalah masa depan. Masa yang akan datang masih dapat saya lukiskan dengan warna-warna yang saya sukai. Tetapi menjadi milik saya untuk secara bebas memutuskan, dan mengubah seperti yang saya inginkan.

36
Saya tahu bahwa perempuan tidak bisa jadi kepala negara, tetapi saya merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya, juga anak-anak perempuan lain di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-laki. Karena itu adalah soal yang tidak pernah saya sebutkan. Entah bagaimana, saya tidak tertarik pada hal-hal yang menyibukkan pikiran mereka, dan apa yang dianggap penting oleh mereka bagi saya hanya merupakan hal yang sepele.

39
Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.

Saya dapat melihat dia sedang mencoba untuk menipu Allah dengan cara yang sama bila ia sedang menipu rakyatnya. Di sekelilingnya berkumpul para pengikutnya, mengangguk-anggukan kepala mereka tanda setuju dan dengan rasa kagum terhadap apa saja yng dikatakan, memohon rahmat Allah Yang Maha Mulia dengan ucapan-ucapan bernada serak, menggosok-gosok tangan yang satu dengan yang lain, mengamati apa yang tengah terjadi di sekelilingnya dengan pandangan mata waspada, ragu-ragu dan dengan sembunyi-sembunyi siap siaga untuk menerkam, penuh sikap agresif yang aneh.

40
Ketika mereka mengucapkan kata “patriotisme” dengan segera saya tahu, bahwa dalam hati mereka tidak takut kepada Allah, dan bahwa dalam benak mereka, Patriotisme mereka itu adalah yang miskin harus mati untuk membela tanah yang kaya, tanah mereka, karena saya tahu bahwa orang yang miskin tidak memiliki tanah.

77
Kau harus lebih keras dari hidup itu, Firdaus. Hidup itu amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih keras dari hidup itu sendiri.

81
“Kita bekerja, Firdaus, hanya bekerja. Jangan mencampuradukkan perasaan dengan pekerjaan.”

99
Berapa tahunkah dari yang telah lalu dari kehidupan saya sebelum tubuh dan diri saya sendiri menjadi benar-benar milik saya, untuk memperlakukannya sebagaimana yang saya inginkan? Berapa tahunkah dari kehidupan saya yang telah hilang sebelum saya melepaskan tubuh dan diri saya sendiri menjauhi mereka yang memegang saya dalam genggaman mereka sejak hari pertama? Kini saya dapat menentukan makanan apa yang saya ingin makan, rumah mana yang saya lebih suka tempati, menolak laki-laki yang menimbulkan rasa enggan, apapun alasannya, dan memilih laki-laki yang saya inginkan, sekalipun hanya karena dia itu bersih dan kukunya terawat baik.

105
Sejak saat itu dan untuk seterusnya saya telah menjadi seorang perempun yang lain. Kehidupan saya yang sebelumnya telah lampau. Saya tidak mau kembali kepada kehidupan yang lalu bagaimanapun beratnya siksaan dan penderitaan yang harus saya alami, sekalipun saya harus tahu lapar dan dingin, serta kemelaratan luar biasa. Apapun yang akan terjadi, saya harus menjadi seorang wanita yang terhormat, walaupun harus dibayar dengan nyawa saya. Saya sudah siap untuk melakukan apa saja untuk menghentikan pergunjingan yang biasa membisikkan telinga saya, untuk mencegah mata-mata yang kurang ajar menjelajahi seluruh tubuh saya.

110
Setiap kali salah seorang direktur mengajak saya berbuat cabul, saya akan mengatakan kepadanya:
“Bukan karena saya lebih menghargai kehormatan dan reputasi saya dari gadis-gadis yang lainnya, tetapi harga saya jauh lebih tinggi dari mereka.”

Saya menyadari bahwa seorang karyawati lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada seorang pelacur akan kehilangan nyawanya. Seorang karyawati takut kehilangan pekerjannya dan menjadi seorang pelacur karena dia tidak mengerti bahwa kehidupan seorang pelacur menurut kenyataannya lebih baik dari kehidupan mereka. Dan karena itulah dia membayar harga dari ketakutan yang dibuat-buat itu dengan jiwanya, kesehatannya, dengan badan, dan dengan pikirannya. Dia membayar harga tertinggi bagi benda-benda yang paling bernilai rendah.

124
Perasaan itu bukan sebenarnya milik saya. Tak ada yang benar-benar dapat menyakiti hati saya dan membuat saya menderita seperti yang sekarang saya sedang alami. Barangkali sebagai pelacur saya telah tahu penghinaan yang begitu mendalam sehingga apapun sebenarnya tak berarti.

Bila jalanan telah menjadi kehidupan anda, anda tak akan mengharapkan sesuatu lagi, tak menginginkan apa-apa. Tapi saya mengharapkan sesuatu dari cinta. Dengan cinta saya mulai membayangkan bahwa saya menjadi seorang manusia.

Dalam cinta saya berikan tubuh dan jiwa saya, pikiran dan segala upaya yang dapat saya kumpulkan, dengan cuma-cuma. Saya tidak pernah meminta sesuatu, memberikan segalanya yang saya miliki, menyerahkan diri sendiri, melepaskan semua senjata yang saya miliki, mengurangi semua pertahanan saya, dan membuka raga saya. Tapi ketika saya menjadi pelacur saya mempertahankan diri saya, tidak pernah lengah. Untuk melindungi diri pribadi saya yang paling dalam dari serangan lelaki. Saya berikan hanya kulit luar saja. Saya menyimpan hati dan jiwa saya, dan membiarkan tubuh saya memainkan perannya, peran yang pasif, tak berdaya dan tak berperasaan. Saya belajar untuk melawan dengan cara bersikap pasif, untuk menjaga keutuhan diri tanpa memberikan apa-apa.

125
Saya katakan kepada lelaki bahwa ia boleh memiliki tubuh saya, tetapi ia tak pernah akan mampu membuat saya bereaksi, gemetar, atau merasa nikmat atau sakit. Saya tidak berupaya, tidak berpikir. Oleh karena itu saya tidak pernah lelah atau kehabisan tenaga. Tetapi di dalam cinta saya memberikan segala kemampuan, upaya, perasaan, emosi saya yang paling dalam. Seperti orang suci saya berikan segalanya yang saya miliki tanpa memperhitungkan ongkosnya.

Saya diamankan oleh cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenali diri-sendiri yang telah hilang.

Saya tidak ditakdirkan untuk mencapai apa yang saya harapkan. Bagaimana kerasnya pun saya berusaha, atau pengorbanan apa pun telah saya berikan seperti orang yang berkhayal mempunyai maksud yang baik, saya masih tetap seorang karyawati miskin yang tak berarti. Kebajikan saya, seperti kebanjikan semua orang yang miskin, tak pernah dapat dianggap suatu kualitas, atau sebuah aset, tetapi malah dianggap bagai semacam kedunguan, atau cara berpikir tolol, untuk dipandang lebih rendah lagi daripada kebejatan moral dan perbuatan jahat.

126
Seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengn kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan.

Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.

129
Saya menyadari kenyataan bahwa sebenarnya saya membenci lelaki, tetapi bertahun-tahun lamanya telah menyembunyikan rahasia ini dengan sangat hati-hati. Lelaki yang paling saya benci ialah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani. Biasanya saya lebih membencinya dari yang lain karena mereka berpikir bahwa mereka itu lebih baik daripada saya dan dapat menolong saya mengubah kehidupan saya. Mereka merasa diri sendiri dalam semacam peran pahlawan – – sebuah peranan yang gagal mereka mainkan dalam keadaan-keadaan lainnya.

129-130
Saya menolak untuk memberikan mereka kesempatan memainkan peran tersebut. Tak satu pun di antara mereka itu hadir untuk menyelamatkan saya ketika saya kawin dengan seorang lelaki yang memukul dan menendang saya setiap hari.

130
Hidup perempuan selalu sengsara. Seorang pelacur, dalam pada itu, nasibnya lebih baik. Saya telah sanggup meyakinkan diri sendiri bahwa saya telah memilih kehidupan ini atas kemauan sendiri.

Seorang lelaki tidak tahan jika ia ditolak oleh seorang perempuan, karena jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa hal itu merupakan penolakan terhadap dirinya sendiri. Tiada seorang pun yang tahan terhadap penolakan ganda tersebut.

131-132
Lalu saya katakan kepada orang dari kepolisian itu bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai patriotisme, bahwa negeri saya bukan saja tidak memberi apa-apa, tetapi juga telah mengambil segalanya yang seyogyanya saya miliki, termasuk kehormatan dan martabat saya. Saya heran ketika melihat bahwa orang dari kepolisian itu seakan-akan kebanggaan moralnya telah amat tersinggung oleh apa yang saya katakan itu. Bagaimana mungkin seseorang sama sekali tidak ada perasaan patriotik.

132
Saya merasa ingin tertawa keras terhadap pendiriannya yang aneh, paradoks yang ia wakili, standar moralnya ganda. Dia ingin membawa seorang pelacur ke tempat tidur tokoh penting itu, seperti dilakukan setiap calo tapi tetap bicara dalam nada sok gengsi tentang patriotisme dan prinsip-prinsip moral.

Tetapi saya menyadari bahwa orang dari kepolisian itu hanyalah penerima perintah, dan setiap perintah yang diberikan kepadanya telah dinilai sebagai tugas nasional yang bersifat suci. Apakah dia membawa saya ke penjara, ataukah ke tempat tidur orang penting itu, bagi dia sama saja. Di dalam kedua hal itu dia sedang memenuhi tugas nasional yang bersifat rahasia. Di mana terkait soal tugas nasional, seorang pelacur dapat diberikan penghormatan tertinggi dan pembunuhan dapat menjadi suatu perbuatan yang heroik.

132-133
Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan seseorang. Sebuah lingkaran setan yang berputar-putar, menyeret saya naik dan turun bersamanya.

133
Tidak sesaat pun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.

135
Saya pergi ke polisi, di sana saya hanya menemukan bahwa ia memiliki hubungan yang lebih baik daripada saya sendiri. Kemudian saya mencari pertolongan lewat prosedur hukum. Saya dapati bahwa undang-undang menghukum perempuan macam saya, tetapi sebaliknya undang-undang tidak menghukum apa yang dikerjakan lelaki.

144
Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, ayah, paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.

146
Ibuku bukan penjahat. Tak ada perempuan yang dapat menjadi penjahat. Untuk menjadi penjahat hanyalah lelaki.
Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para ayah, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi.
Mereka berkata, “Kau adalah perempuan yang liar dan berbahaya.”
“Saya mengatakan yang sebenarnya. Dan kebenaran itu adalah liar dan berbahaya.”

147
Saya tahu apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya. Sayalah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki – – beribu-ribu orang yang dibunuh tiap hari – – tetapi karena mereka takut untuk membiarkan saya hidup. Mereka tahu bahwa selama saya masih hidup mereka tidak akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka. Hidup saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka.

148
Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.

149
Sebab kebenaran itu selalu mudah dan sederhana. Dan dalam kesederhanaannya itu terletak kekuasaan yang ganas. Karena jarang sekali orang dapat mencapai kebenaran primitif dan mengagumkan dari suatu kehidupan setelah bertahun-tahun penuh perjuangan. Karena, memang jarang sekali orang tiba pada kebenaran hidup, yang sederhana, tapi menakutkan dan penuh kekuatan, setelah hanya beberapa tahun.

Karena kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang besar bila seorang ingin menghadapi mereka.

154
Oleh karena dunia penuh dusta, ia harus membayar harganya dengan kematian.

Segelas Beras untuk Berdua-Sindhunata

5
Orang miskin itu harus selalu berjaga-jaga dengan hemat Nak, bahkan dari hasil yang sedikit sekalipun.

6
Saya akan berdosa kalau saya mengeluh pada Gusti. Diberi begini, ya saya terima begini. Kalau saya tidak menerima, barangkali mungkin saya akan susah.

11
Gusti itu adil. Kalau dia tidak adil yang diciptakannya itu hanya satu, orang baik-baik saja. Namun, karena dia adil, dia menciptakan bermacam-macam. Ada yang pincang, ada yang buta, ada yang menderita. Mereka-mereka ini buat pepak-pepak jagat, di samping yang baik dan bahagia,” kata mbok Tukinem

12
Sejauh orang bisa meraba, mbok Tukinem seakan mau mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil kalau Ia hanya mencintai yang baik dan bahagia. Keadilan-nya bukan karena menciptakan yang baik dan yang menderita, tetapi karena menyayangi baik orang baik dan bahagia, maupun orang yang malang dan menderita.

13
Suami saya pesan, kalau saya punya uang, ia minta dibelikan sagon. Ia juga bilang, kalau saya ada sangu, saya disuruh mengunjunginya. Kalau tidak punya, saya juga tidak boleh sedih, karena dia tidak apa-apa, hanya minta didoakan saja.

16
Saya orang miskin, terhina, tunanetra seperti kata orang. Namun, saya pernah nglakoni semuanya. Cuma maling, ngemis, kaya dan mati saja yang belum

16
Bikin pengki tak saban hari makan. Kalau lagi macet belum laku-laku, bisa tiga hari kagak makan. Bahkan pernah, 80 hari kagak makan,” kata Pak Raidi menuturkan kisah silamnya. Ketika itu sekitar tahun 1947. Boro-boro nasi! Pakaian pun cukup dengan karung goni.

20
Orang miskin dan terpencil seperti Pak Gacuk memang mudah berkesan, Jakarta ini seakan bukan miliknya, malah mendepaknya keluar dari wilayahnya.

21
Orang barangkali tidak pernah membayangkan bahwa kalangan seperti Pak Gancuk sering menjalankan kehidupan ekonomi sebagai rutin belaka tanpa asumsi apa pun, termasuk perhitungan untung rugi. Rutin itu seakan sudah menjadi sebagian nasib hidupnya. Padahal, tidakkah usah ekonomis sebenarnya adalah salah satu usaha untuk keluar dari jeratan nasib yang mengurung orang?

21
“Yang penting orang hidup ini bisa merasakan keenakannya. Jadi orang kaya belum tentu enak kan? Orang kaya malah capeknya nggak ketahuan. Jam 01.00 malam ia masih bereken. Ia masih belum tidur di pagi hari, sementara kita sudah mendusin,” kata Pak Gacuk.

22
Kemiskinan menjadi kawan hidupnya. Ia bahkan tak mempersoalkan lagi kemiskinan itu. Orang boleh terbelalak, kenapa bagi Pak Gacuk bahwa kemiskinan pun bisa membuat rasa keenakan? Maklum karena Pak Gacuk belum melihat realitas lain, kecuali kemiskinannya.

24
Berbagai jenis mainan datang berbondong-bondong dari Hongkong, China, Taiwan, Jepang, dan Singapura. Negara yang dari dulu terkenal pandai merongrong nafsu anak kecil terhadap mainan. Akan tetapi, ingatlah semuanya itu made-in luar negeri, seakan tak adalah orang di negeri ini yang juga bisa dan pandai memenuhi kebutuhan anak-anak untuk memiliki mainan yang sepadan. Sepadan dalam harga, sepadan dalam mutu maupun sepadan dalam kepribadian.

26
Percumalah menganjurkan menghormati barang produksi dalam negeri, sementara barang luar negeri masuk menggebu-gebu melanda negeri ini.

27
Hakikat dunia ini adalah perebutan. Setiap orang, kaya atau miskin, melek atau buta, dipaksa untuk mengambil bagian dalam perebutan itu. Kalau ia tak mau ikut, ia akan ditinggalkan kehidupan.

29-30
Pak Sa’i seharusnya sudah menyerah dalam persaingan mencari nafkah. Bukan hanya karena matanya buta, tetapi juga karena penghasilannya yang sedikit sekali. Namun, lelaki tua itu tak kenal lelah berusaha. Seakan ia tahu belas kasih itu sulit mendapat tempat dalam dunia yang pada hakikatnya lebih berisi perebutan ini.
Pak Sa’i tidak hidup di luar dunia ini. Maka meski meraba-raba dalam kegelapan, ia harus mengikuti irama sifat dunia. Pak Sa’i memang tak kenal putus asa.

32
Seperti manusia, nasib kuda pun ternyata tidak sama. Ada yang boleh gagah dan indah, seperti kuda milik kaum berada. Ada yang bersolek pun tak pernah seperti kuda pekerja, walaupun mereka sudah membantu pemiliknya.

38
Maut seperti punya perasaan. Terhadap orang yang sok-sokan, maut seperti tak kenal kasihan. Lihat saja berapa korban jiwa akibat kebut-kebutan. Namun, terhadap orang seperti Ateng, maut seperti punya rasa sayang. Tak banyak terdengar kabar pekerja bangunan jatuh dari ketinggian, walaupun ratusan di antara mereka bekerja seperti Ateng, menuruti keinginan zaman ini yang suka akan bangunan tinggi-tinggi. Barangkali maut pun tahu bahwa Ateng tidak mencandanya dengan sengaja, tetapi karena terpaksa.

49
Johana punya pandangan agar kita jangaan mau kalah dengan Belanda. Johana ingin agar murid-muridny duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan Belanda. Satu-satunya cara membekali mereka dengn pendidikan yang tak kalah dengan pendidikan Belanda,” kata Dick Hartoko.

62
Murni mungkin merasa, betapa pun cacat dan jelek, Pak Dadi adalah ayahnya. Dan lebih dari semuanya-justru dalam keadaan yang tidak sempurna-Pak Dadi telah memberikan segala usahanya untuk anaknya.

64
Dadi bisa sedikit baca tulis. Tentu saja ia menulis dengan kakinya, karena tangannya tak mungkin digunakan. Ini saja membuktikan bahwa ia tak pernah menyia-nyiakan hidup ini. Barangkali usahanya yang tak kenal lelah ini membuat ia dianggap sebagai manusia biasa, sampai Mbok Mintuk mau kawin dengan dia.

69
Buat saya kaya dan miskin itu sama, Nak. Ada yang kaya, tetpi tidak merasa puas akan apa yang dimilikinya. Lihat saja, orang kaya-kaya itu. Sudah punya mobil dua, ingin tiga. Sudah punya rumah, ingin bungalow. Sudah ada sport tenis, ingin golf. Orang kaya itu tak pernah tidak sambat. Memang kemewahan itu tak pernah berhenti untuk puas,” katanya.

Teori hidup adalah menghemat sebisa-bisanya untuk anak cucu. Orang-orang kita yang terkenal dan kaya raya serta jadi tokoh pembesar sekarang ini berkat keprihatinan sesepuhnya dulu. Maka salah kita orang-orang tua sekarang inilah, kalau anak-anaknya kemudian tidak bisa hidup sederhana dan menjadi tidak karu-karuan.

79
Orang berjalan akan berhenti karena lelah; orang makan akan berhenti karena kenyang; tapi orang yang mencari kesenangan, tidak akan ada habis dan berhentinya, karena kesenangan memang tidak ada batasnya.

116
Menurut Ibu Teresa, mati tak lain tak bukan adalah pulang ke Tuhan. Karena itu mati dalam kedamaian Tuhan seharusnya menjadi tujuan terakhir hidup manusia. Maka Ibu Teresa memberikan cintanya, agar mereka yang menghadapi ajal dapat pulang dalam kedamaian itu.

117
Musik memang mudah memancing rasa haru justru bila ia menuturkan keadaan yang sebenarnya tanpa sentimen atau kebencian terhadap apa pun.

118
Saya ingin membantu siapa pun untuk menunjukkan cinta kepada sesaama. Jika mereka membantu saya, mereka membantu yang miskin. Saya tak pernah menerima bantuan uang di bawah syarat apa pun kecuali cinta kasih.

119
Kematian Ibu Teresa maupun Putri Diana telah menyentakkan orang, seakan ada sesuatu yang lebih besar di luar waktu tetapi menguasai waktu, yakni cinta. Kematian mereka seakan mengatakan, cintalah yang harus menjadi isi dari waktu dan tujuan perjalanan waktu

123
“Ada banyak manusia mati karena sepotong roti, tetapi juga banyak manusia yang mati karena cinta yang tak dimilikinya,” kata wanita tua dan miskin dari Calcuta itu. Diana menderita karena tak memeroleh cinta. Di luarnya Diana kelihatan kaya, tetapi di dalamnya ia sebenarnya miskin. Dalam bahasa Ibu Teresa, ia menderita a poverty of loneliness.

124
Hidup itu berjalan dalam petualangan dan bukan bertahan dalam ketentraman. Jika ia tidak siap untuk menderita karena petualangan itu, dan belajar dari penderitaan itu, ia akan kehilangan kesempatan untuk tumbuh mengatasi dirinya. Diana mulai meninggalkan impian kanak-kanaknya dan terjun menghadapi realita.

151
Sudah tentu, di tengah jalan Mbah Setro juga dilanda rasa haus dan lapar. Namun, tak pernah ia mengalah untuk memuaskan rasa haus dan lapar itu, misalnya dengan jajan. “Saya khawatir, sekali saya jajan, saya jadi wanuh (terbiasa). Lalu lain kali saya ingin jajan lagi. Uang saya sedikit. Buat jajan, bisa cepat habis,” kata Mbah Setro.

175
Ia tak membenci kekayaan walaupun ia mencintai kemiskinan. Ia hanya mengharapkan “tepo seliro” dari si kaya terhadap si miskin. Sementara ia sendiri yakin kemiskinan pun mempunyai kebesaran, yang tak perlu mengharapkan tetesan dari kekayaan.

181
Guntur mencoba mengolah sapu yang sederhana itu menjadi sarana yang bisa menghasilkan makna. Memang, kata Guntur, makna itu tidak usah dicari di langit nun jauh di sana. Makna dapat ditemukan dengan mudah di madypada, di Bumi tempat kehidupan rakyat biasa.

Makna itu tidak usah dicari di langit nun jauh di sana. Makna dapat ditemukan dengan mudah di madyapada, di bumi tempat kehidupan rakyat biasa.

182
Uang itu hanyalah akibat bukan tujuan dari apa yang saya buat. Saya tak pernah susah karena tidak punya uang. Senang itu tak tergantung pada materi, tetapi pada rasa. Orang yang beruang bisa saja susah, kalau memang rasanya susah. Sebaliknya, orang bisa senang, walau tak punya uang, kalau rasanya memang senang, kata Guntur.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu : Kalau Dewa-Dewa Turun ke Bumi

-Pramoedya Ananta Toer-

21

Kami pulang ke barak masing-masing, mengikati bodol kami, mengurus perbekalan di gudang, dan menghadap lagi untuk menyatakan siap berangkat. Pada kesempatan itu aku tanyakan pada komandan, Letnan Kusnandi, bagaimana nasib naskahku yang telah diambil itu. Nanti bapak akan bertemu dengan Wadan Tefaat (wakil komandan tempat pemanfaatan), jawabnya, naskah itu ada pada beliau, cobalah minta. Aku tak pernah bertemu dengan Wadan Tefaat, Letkol Sutarto. Pada kesempatan pertama akan kupinta kembali.

22

Setelah makan siang kami meneruskan perjalanan yang berat setelah tenaga dipergunakan mencangkul di ladang jagung. Juga bawaan itu memberati langkah, dan tak ada seorang pun di antara kami punya persediaan minum, sedang matari membakar dengan puncak teriknya, biar begitu masih ringan daripada mereka yang bersepatu bot. Kami berjalan dengan cakar ayam.

23

Duduk di tengah-tengah mereka adalah seorang jangkung, berkulit langsat, mancung, berkepala agak tipis, dan sekaligus aku menduga berdarah arab. Tentu itulah Letkol Sutarto. Segera aku ajukan permintaan untuk mendapatkan naskahku kembali. Ia nampak heran. Aku keliru. Ternyata ia tak lain dari prof dr Fuad Hassan dari fakultas psykologi UI.

+

F.H. : Bagaimana? Apakah saudara di sini masih menulis?

P.A.T. : Kalau ada kesempatan atau tidak terlalu lelah. Pada umumnya kalau toh menulis hanya bisa selama seperempat jam dalam sehari, dan tiga atau lima menit untuk membaca.

24

Belakangan ini saya menulis sebuah roman tentang Periode Kebangkitan Nasional – sebagai periode, bukan sebagai peristiwa. Sudah kira-kira 170 halaman, berpegang pada ijin yang pernah diberikan pada saya. Yang saya baca adalah bacaan yang tersedia di unit kami dan buku-buku saya sendiri.

+

F.H. : Bagaimana pendapat saudara bila keluarga saudara didatangkan kemari?

P.A.T. : Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu saya katakan, bahwa jawaban saya bersifat pribadi, tidak mewakili pikiran atau perasaan siapa pun kecuali diri saya sendiri. Bagi saya adalah tidak mungkin menerima tawaran yang demikian. Pertama karena istri saya menderitakan suatu penyakit. Kedua, walaupun sedikit atau belum berarti, saya telah mempunyai sumbangan pada bangun peradaban indonesia, maka karena itu anak-anak saya berhak mengecap peradaban itu. Dan yang demikian tidak mungkin bila mereka ada di Buru ini.

+

Sdr Dilar Darmawan ini adalah seorang dosen sastra Inggris pada sebuah universitas. Selama delapan tahun ini semestinya dia telah menghasilkan beberapa orang sarjana sastra Inggris yang baik. Sekarang kerjanya mencangkul. Berapakah nilai kerja cangkul ini dan apalah artinya dibandingkan dengan dua orang sarjana sastra Inggris, dua orang saja, yang semestinya dihasilkan sebagai nilai kerja? Saya yakin, bahwa kenyataan ini tidak menguntungkan Indonesia.

+

Tidak perlulah pemerintah pusing-pusing memikirkannya bagaimana tapol harus membangun pulau ini dan mengeluarkan banyak biaya untuk itu. Gampang saja : bebaskan mereka. Itu adalah pembangunan manusia Indonesia yang lebih baik.

25

Selama delapan tahun ditahan yang saya ketahui hanyalah pengalaman tahanan delapan tahun itu. Dan ini yang obyektif. Saya tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.

+

Saya merasa diperlakukan tidak menurut hukum. Belum pernah saya dijatuhi hukuman oleh sesuatu pengadilan. Saya adalah seorang pengarang. Saya menulis dengan nama jelas. Sekiranya ada kesalahan atau kekeliruan dalam tulisan saya, setiap orang boleh dan berhak menyalahkan, apalagi pemerintah yang notabene mempunyai kementerian penerangan. Maka, mengapa saya ada di sini? Sekiranya saya bersalah, saya akan rela menerima hukuman.

26

Akhirnya ia menemukannya juga : ayahnya telah menjadi tapol. Karena ia sangat mencintai ayahnya ia tak mau pulang dan ikutlah ia dengan ayahnya, jadi tapol cilik. Beberapa waktu kemudian ayahnya dibebaskan. Si tapol cilik tidak. Bukan sampai di situ saja, dia justru dibuang ke Buru, sekarang di unit III, namanya Asmuni. Pendeknya tidak menguntungkan bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih baik, di samping kerusakan-kerusakan pada anak tersebut, karena penderitaan yang menahun.

+

Lihatlah, pada waktu saya diambil dari rumah, kepada mereka yang mengambil saya, saya berpesan agar menyelamatkan perpustakaan dan dokumentasi saya, yang bagi saya sangat berharga. Pada waktu saya dibawa ke kostrad, demikian juga yang saya sampaikan pada seorang letkol, yang pada waktu itu sedang ada (bertugas) di sana. Perpustakaan dan dokumentasi sejarah ini telah saya bangun selama 20 tahun. Saya katakan juga: kalau pemerintah mau ambil, ambilah, asal diselamatkan, karena bagaimanapun dia akan berguna bagi kepentingan nasional. Tapi apa yang terjadi? Dihancur-binasakan. Apakah ini menguntungkan bagi Indonesia? Saya tidak bicara tentang kekuasaan yang sedang berlaku. Saya bicara tentang Indonesia. Maka bila kami bersalah, berilah kami hukuman yang setimpal. Kalau tidak : bebaskan. Perlakuan terhadap kami tidak mendidik ke arah pembangunan masyarakat yang baik. Apa gunanya terpelajar itu belajar tentang prinsip-prinsip kemerdekaan kalau kebebasannya tidak terjamin? Dan bagi mereka ini penderitaannya bertambah lagi bila kehilangan kebebasannya, setelah mengetahui banyak tentang prinsip-prinsip tersebut.

34

M.L. (Mochtar Lubis) : Kau sudah mulai menggarap sejarah. Mengapa bukan tentang yang sekarang?

P.A.T. : Aku sudah muak tentang hal-hal yang tidak menyenangkan sekarang ini. Lagi pula kalau aku menulis tentang yang sekarang, nanti disalah-tafsirkan.

34-35
Gayus Siagian : Bukankah justru yang memuakkan itu yang harus ditulis?
P.A.T : Saya punya hak untuk menentukan apa yang saya tulis, yang dapat memberikan kepuasan individual pada saya. Dalam hal ini saya tidak peduli orang lain suka atau tidak.

35
Team universitas : Dari mana materi saudara?
P.A.T : Dari studi sebelum ditahan. Karena berdasarkan ingatan semata tentu banyak kekurangan
T.U. : Dari mana saudara mendapat kertas?
P.A.T : Saya punya delapan ekor ayam.
T.U. : Bgaimana saudara mendapatkan uang?
P.A.T. : Kadang-kadang ada pejabat membeli telor.
Mochtar Lubis : Susunlah daftar buku-buku, kirimkan padaku, nanti aku kirim.
P.A.T. : Terima kasih

36
Aku mau katakan sesuatu padamu, Mochtar, kami ini adalah nyawa saringan. Sejak di R.T.C. Jakrta sudah beberapa kali saja di antara kami yang mati, belum di Buru ini. Waktu kami di penjara Karang Tengah, Nusa Kambangan, pada sebuah papan tulis terbaca begini : Kekuatan empat ratus sekian, mati dua ratus sekian. Kemarin di Savanajaya, aku dapati seorang pemuda, seorang nyawa saringan, menggeletak selama 2 tahun di rumah sakit karena hepatitis. Nama anak ini Isnarto. Aku tidak rela anak ini mati setelah melalui saringan-saringan selama ini. Aku minta bantuanmu menolong jiwa anak ini.
+
Pada tahun 1948, waktu saya telah dua tahun dalam tahanan, saya merasa putus asa, dan siap untuk bunuh diri. Maka saya lakukan sesuatu dengan semboyan : bunuhlah aku bila tak dibutuhkan lagi oleh kehidupan.

41
Komandan Unit III Wanayasa Panglima menyampaikan kepada kami :
…………… Saya juga membawa oleh-oleh berupa alat-alat yang saudara-saudara perlukan. Alat-alat ini dibeli dengan harga mahal, oleh karenanya supaya digunakan sebaik-baiknya. Juga kepada Pak Pram dikirimkan beberapa buku yang diperlukan. (Catatan : Aku tak pernah menerimanya).

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu : Permenungan dan Pengapungan-Pramoedya Ananta Toer

-Pramoedya Ananta Toer-

1
Jadi, setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-sekali anakku dilarang atau dihalangi kalau dia mau meneruskan pelajarannya. Kedua, tidak aku ijinkan anakku dipukul atau disakiti. Ketiga, anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secra baik-baik, kalau karena sesuatu hal kau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku.

2
– 1969 kau tinggalkan RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, pamit untuk memulai hidup sebagai seorang istri. Beberapa kali kau masih melihat ke belakang sebelum pintu raksasa itu mengantar kau lepas ke jalan raya. Orang yang setelah pernikahan itu menjadi suamimu beberapa kali masih membungkuk memberi hormat. Dan waktu pintu raksasa itu kembali tertutup habislah sudah basa-basi itu. Kau memasuki bulan madu. Aku juga pergi. Ke pembuangan.

– Bagaimana harus dinilai? Karunia? Atau kutukan? Bila orang tak dapat membebaskan diri dari waktu yang tiga dimensi: lalu, kini dan depan?

– Dengan pimpinan sang harapan, dengan keringat sebagai lambang jerih payah sendiri, dengan masa kini sebagai titik tolak, dengan masa lalu sebagai pesangon, ia bergerak menuju ke happy land somewhere. Orang tak tahu pasti. Maka juga disusul oleh and it’s just a prayer away….

– Somewhere, anakku. Dan where to? Kau, negeri bahagia, di mana kau sesungguhnya? Orang dididik untuk percaya, negeri tujuan memang kebahagiaan itu. Dan kepercayaan yang diperoleh secara mudah bisa juga hilang dengan mudah.

– 16 Agustus 1969. Kau berbulan madu di happy land yang sudah jelas. Aku ke happy land somewhere : konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama lebih delapan ratus orng dengan kapal ADRI XV sebagi hadiah ulang tahun Republik Indonesia.

3
– Tidak akan kututup mata kepalaku, juga tidak mata batinku. Kapal ini akan membawa kami bersama masa depan dalam impian, dalam kepercayaan itu. Pulau Buru bukan the happy land somewhere. Dia hanya stasiun perantara. Juga untuk itu dibutuhkan kepercayaan.

– Kata orang, setiap di antara pulau itu adalah juga milik kami, juga setiap cangkir dari perairan antara dua samudra itu, Hindia dan Pasifik. Itu ajaran klasik di sekolah. Lebih nyata dapat dipegang adalah ucapan Peltu Marzuki di RTC Salemba: Kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari kami hak untuk bernafas pun dirampas). Ajaran klasik ternyata bisa bermuka dua. Bukan hanya laut, juga seluruh isinya. Seluruh bumi dan isinya, juga langit, garis lurus sampai akhir tatasurya kita. Antara kenyataan dengan janji sudah tak ada status quo.

3-4
Melihat langit pun tak ada lagi hak, jangan kan memiliki atau ikut memiliki. Seperti orang-orang Cina yang diculik dalam kapal Kapitan Bontekoe, seperti tawanan-twanan culikan Cina lain dalam kapal-kapal tokoh Michener yang diangkut ke Hawaii, seperti nasib empat juta penduduk afrika dalam kapal Inggris dan Amerika, menyeberangi Atlantik dibawa ke benua baru

5
– Namun, bergelimang dalam muntahan sendiri, semangat hidup mereka menyala. Tentu bukan karena porsi pertama di atas kapal nasi sepiring penuh dengan sepotong daging atau sepenuh telor : mereka ingin dapat saksikan akhir segala ini! Dan, karena hidup memang indah bagi mereka yang tahu menggunakannya, dan bagi mereka yang punya cita-cita. Ya, biarpun sekarang ini bangun dan tidur pun perlu dapat bantuan teman-teman yang masih sehat atau setengah sehat.

– Bila dalam hidupku pernah aku alami masa kelaparan yang panjang dan berat, wajarlah itu, biarpun makanku memang tak bisa banyak. Lapar diterima sebagai sahabat yang tidak menyenangkan.

– Dan kelaparan itu sendiri apalah bedanya antara pembunuhan sistematis dengan akibat kerakusan para pejabat? Biar yang berkepentingn yng menjawab. Setidak-tidaknya, dengan jatah penjra saja orang akan tewas. Volume makan kurang gizi? Volume dan gizi juga senjata di tangan pembunuh. Itu di jakarta. Bukan di Klaten tau sukoharjo atau Pacitan atau Kebumen yang jauh dari intipan mata internasional!

6
Waktu kami dijemur hampir sehari menunggu datangnya kapal di tanah lapang pelabuhan Sodong, sambil menyaksikan teman-teman lain dihantami para petugas karena bertukar pakaian pembagian – maklum pakaian itu tanpa mengindahkan ukuran badan yang menerima – kelapran itu sudah sampai pada titik tinggi kegarangannya. Kami yang berjongkok pada sejulur pagar bluntas beramai-ramai merengguti daun bluntas penuh debu jalanan dan mengganyangnya mentah-mentah tanpa dicuci lebih dahulu. Kalau ada air untuk mencuci pun ada, kami tak akan bisa meninggalkan barisan tanpa kena hajar. Dan jangan kau muntah melihat kami makan tikus kakus yang gemuk lagi besar itu, atau bonggol batang pepaya atau bonggol pisang – mentah-mentah – atau lintah darat yang ditusuk dengan lidi. Bahkan drs. J.P. bisa menelan cicak hidup-hidup setelah dipotesi telapak kakinya yang empat. Ia ahli menangkap cicak. Dengan ibu jari dan telunjuk ia menjepit tengkuk binatang celaka itu dan hewan perangkak itu pun disodorkan masuk ke gua tenggorokannya. Keberanian menantang kelaparan adalah kepahlawanan tersendiri.

7
Betapapun terhina dan dihina tapol RI ini, umumnya masih tahu dan ingat kebersihan yang pernah diajarkan orangtua dan sekolah dasarnya. Begitu memasuki ruangan yang ditunjuk, ruangan di mancung hidung haluan, di bawah dek, kontan balik kanan jalan, hidung disumbat. Ruangan itu penuh bukitan kotoran manusia. Kapaal ADRI XV-kapal yang masih diopersikan! Ai! Anak-cucu bangsa bahari! Tanpa diperintahkan pun langsung rombongan Jakarta mulai membersihkan ruangan keparat itu.

8
– Sekiranya kapal ini tenggelam – kami akan mati bersama, delapan ratus orang ini – dalam sekapan dengan semua pintu terkunci dari luar. Ah-ya, apa salahnya mati? Setidak-tidaknya kami masih bisa memberikan sesuatu pada dunia : cerita sensasi dan bagaimana pertanggungjawab akan kembali jadi bola volley.

– Jangan menyesal mengapa punya impian, merasa belum cukup dengan yang sudah ada. Sejak peristiwa 1965 itu aku telah kehilangan semua dan segala. Lebih tepat: semua dan segala ilusi.

– Dan seperti bayi-bayi selebihnya modal untuk berkomunikasiku hanyalah suaraku: jeritan, raungan, keluhan, rengekan. Dan bila modal komunikasi itu dirampas, ah ya, siapa yang bisa rampas hak untuk berdialog dengan diri sendiri? Dan yang dirampas itu akan berubah jadi energi lain yang akan mengguris abadi dalam kehidupan. Sentimental? Apa boleh buat, hanya batang kayu yang tak punya sentimen.

– Ya, sayang sekali aku tak dapat saksikan perayaan perkawinanmu. Hadiah-kawinmu pun hanya catatan semacam ini, dan tak akan sampai ke tanganmu pula. Empat tahun belakangan ini aku hanya mengikuti tudingan telunjuk orang untuk meninggali sel-sel beton atau kayu. Biar begitu tidak benar kalau tidak pernah ingat kepadamu.

9

–  Empat tahun tanpa tahu duduk perkara sungguh suatu kemewahan berlebihan, seperti lapisan tebal bedak pada muka buruk seorang nenek tua-renta.

– Besok 17 Agustus keberangkatan kami: hadiah ulang tahun kemerdekaan RI. Hadiah untuk mereka yang tak jemu-jemunya meyakinkan diri mereka sendiri-juga kami-bahwa kami adalah pengkhianat, pemutar-balik Pancasila. Dan selalu, tanpa pernah bisa membuktikan tuduhan mereka sudah menyemburkan tabir asap: harus tahu sendiri, merasa sendiri, (karena itu) instrospeksilah, mawas diri, beriman, beragama. Bersembahyang. Berdoa!

13
– Kebahagiaan sekecil-kecilnya perlu juga dipelajari bagaimana menikmatinya. Biarpun ke mana mata memandang memang hanya maut yang nampak: laut, kapal kakus, yang tak henti-hentinya bergerak dan terengah, peluru, bayonet, perintah, appel, tanda-pangkat, pestol, bedil, pisau komando.

– Orang bilang, bagaimana pun dan ke mana pun kau bergerak, kuburan juga tujuannya. Siapa pernah lahir, bersama dengan kelahirannya dia dijatuhi hukuman mati.

– Apa boleh buat, dalam kerangkeng, di atas kapal semacam ini, memang setiap kami merenungkan mati. Dan kroncong. Yang cengeng meliuk-liuk makin mendorong diri pada renungn itu. Kroncong sebelum kemerdekaan masih punya gairah, masih mengandung vitalitas-vitalitas bangsa yang belum merdeka. Kroncong sehabis dan selama revolusi justru tinggal jadi semacam narcisme, rangkaian kata kosong, masturbasiisme. Sejajar dengan pidatoisme dan wayangisme.

14
– Karena di dunia bebas dulu mereka mengenal nama itu, nama ayahmu. Memang keterkenalan tak lain dari produk sosial, bukan semata-mata tetesan keringat sendiri. Dan cukup menyebalkan keterkenalan dianggap senyawa dengan ke-tahu-segala-an, sebagai penguasa kebenaran. Mereka tak mau tahu, diri ini sama dengan mereka, sama-sama tapol, sama-sama tak tahu sampai kapan kami dibuang? Sampai mati atau sampai setengah pingsan saja? Kan itu semata-mata tergantung pada sudi atau tidak sudinya Barat menyimpan jatuh dan wajahnya yang demonik? Menyimpan di mana? Tentu saja dalam kopeknya.

– Yang orang paling tahu, kebebasan itu kepentingan para yang terampas dan tertindas. Banyak orang lupa, ia juga punya kepentingan yang merampas dan menindas. Hanya isi kepentingannya saja berbeda. Kepentingan tapol hanyalah kebebasannya, tidak lebih. Kebebasan murni. Kepentingan yang di seberang sana, wah, bermacam lagi. Tanyalah pada raja-raja modal yang sudah mengalami dan menyimpulkan segala dan semua, dan yang lebih penting : sudah mengatur semua.

14-15
Bagi bangsa yang sedang meremajakan nafsunya, semua saja dianggap jadi urusannya, maka patut bisa menjawab masalah-masalahnya. Namun pengarang tetap bukan sinterklas pembagi balsem dan param, dia cukup bersyukur bila bisa memberikan sejumput kesadaran.

15
Tanah ada dan air pun melimpah. Kedalaman laut Banda memberi jaminan bahwa air itu ada. Tidak percuma kau memilih jadi warganegara Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.

16
– Hadiah-kawin untukmu hanya permenungan dan pengapungan ini. Itu pun belum tentu akan sampai kepadamu. Tak ada harganya memang dipandang dari nilai uang yang membikin banyak orang matanya jadi hijau. Nilainya terletak pada kesaksiaan dan pembuktian sekaligus betapa jelatanya jadi warga negara Indonesia angkatan pertama. Boleh jadi untuk jadi warganegara Amerika atau Brazilia tidak akan sesulit ini. Sedang kewarganegaranmu kau peroleh cuma-cuma. mungkin juga kau tidak peduli apa kewarganegaraanmu.

– Nyaris empat tahun ditahan, memasuki tahun kelima justru berangkat ke pembuangan, tanpa tahu duduk perkara. Dan dibuang sebagai hadiah ulang tahun untuk segolong orang yang justru menghendaki kami qo-it! Mungkinkah sudah terjadi kekeliruan? Tidak, karena lebih seribu tahun lamanya wayang mengajarkan : bahkan para dewa pun bisa salah, bisa keliru, tidak kalis dari ketololan, dan : korup!

– Dan di bawah sana, di gunung-gunung karang sana, di laut dalam, ikan bandeng kesukaanmu itu bertelur. Nenernya bertebaran di pantai. Orang membawanya ke pasar bila sudah besar, dan seorang mengantarkan padamu di meja makan. Di bawah kapalku ada jutaan tongkol dan bandeng, tetapi tidak di atas piringku

17
Seorang di antara kami, memberi jaminan : ikan Maluku cukup bodoh dan tidak berpengalaman, kau umpani dengan batu pun akan kena. Dia sungguh seorang penghibur baik bagi mahluk kekurangan protein hewani.

18
Mereka mendarat di Namlea yang sedang dikalahkan garuda. Satu regu prajurit divisi Pattimura menyambut mereka dengan gagang senapan dan tinju.
Nah, pengantin baru, anakku, kau boleh ucapkan padaku : selamat untukmu, papa, tapol RI yang memasuki masa pembuangan, sebagai balasan atas hadiah-kawin semacam ini. Selamat untukmu, anakku, selamat untuk suamimu yang aku tak ingat namanya.
Sekarang giliran ayahmu menuruni kapal, naik ke LC untuk mendarat, setidak-tidaknya bukan di somewhere.

Surat dari Palembang : Nasib Sayu Si Tukang Perahu

Kadang aku masih tertawa, kalau mengingat-ingat persamaan kita yang istimewa. Tentang kota kelahiran kita yang tertukar. Sekarang aku masih di Palembang, kota kelahiranmu yang nyaris tak pernah kau kenal. Kota tempat aku tumbuh dan dewasa. Sebaliknya, kau sedang berlibur dua hari di kota tempatku lahir, Bandung. Kota yang begitu asing buatku itu, adalah kota tempat kau tinggal sejak kecil.

Sungguh, Guru Di, aku benar-benar berharap suatu saat nanti kita bisa menikmati Palembang berdua-dua. Berperahu menyusur Musi, dan bercerita tentang rumah-rumah rakit yang mengapung di atas sungai kecokelatan itu. Kau pasti akan membidik gambar banyak sekali.

Seperti hari ini, aku pergi ke Benteng Kuto Besak (BKB) bersama Ami, dia sahabatku. Wartawan juga. Kami dulu satu kampus, dia adik tingkatku.

Sewaktu masih kuliah, kami berdua sering sekali ke BKB ini. Hampir setiap sore, juga hari Sabtu dan Minggu, atau hari-hari libur lainnya. Kami berkeliling naik perahu getek, kadang membayar Rp3.500, tapi lebih sering gratis. Karena kakak-kakak tukang perahu getek ini hampir semuanya teman kami.

Kami suka sekali makan dan ngopi di warung kopi terapung Mang Ujuk. Mang ujuk berjualan setiap sore, dibantu istrinya dan juga Rais, anak laki-lakinya.

Warung kopi Mang Ujuk ini adalah perahu yang disulap jadi tempat tongkrongan. Meja diletakkan di tengah-tengah, membelah perut perahu yang lumayan besar. Lalu di kanan kiri diletakkan kursi-kursi plastik bulat. Di atas meja, ada piring-piring penuh makanan. Semuanya terlihat enak: tahu isi, pisang goreng yang tersaji panas-panas, pempek, bakwan dan segala macam jajanan. Kita juga bisa memesan indomie atau model atau tekwan.

Dulu, waktu belum terbiasa, makanan itu hanya kupandangi saja. Walaupun kepingin sekali, tapi tak sanggup memakannya. Karena kapal yang merapat di bibir BKB ini terus berayun mengikuti ombak. Bisa bikin mabuk. Tapi ketika sudah terbiasa, lima butir pempek pun bisa kukunyah tak berjeda. Hahaha….

Aku juga sering datang sendiri ke BKB. Kalau sedang ingin sekali asosial. Sekadar duduk-duduk di tepi sungai dan membaca buku. Angin sore yang mengacak-acak kerudung, kebisingan perahu getek dan bau mesin perahu berbahan bakar solar, menjadi teman-teman karib yang menemani sore.

Tapi hari ini kami datang terlalu siang. Perahu Mang Ujuk belum datang. Udara terik, langit biru cerah. Air sungai sedang tinggi, ombaknya memukul-mukul undakan tempat perahu-perahu ditambatkan. Kakak-kakak tukang perahu duduk merokok terkantuk-kantuk, berharap pelanggan datang.

Mereka masih tukang perahu yang sama. Waktu delapan tahun ternyata banyak menggerus umur. Kakak-kakak di hadapanku bukan lagi mereka yang gagah dan renyah candaan. Mereka tampak menua, rambut keperakan, tubuh yang letih dan garis-garis menarik-narik wajah mereka menjadi keriput. Cahaya mata mereka memamerkan harapan yang tipis.

Kak Ladi salah satunya. Senyumnya sumringah, seperti menyambut kawan lama. “Apa kabar? Lama tidak bertemu.” Ia menjabat erat tangan kami satu per satu.

Lalu ada pula Yadi, tukang perahu yang lain. Dia menyapaku akrab. “Ta… Kemano bae? Sombong sudah di Jakarta.” Ia tertawa-tawa. Kulitnya terlihat lebih gelap daripada terakhir kami bertemu dulu.

Aku tertawa, “Mana mungkin aku lupa sama kau, Yadi. Kita hampir tenggelam bersama di perahu. Gara-gara kau nyetir getek sambil lihat-lihat perempuan berkain yang mandi sore-sore. Masih suka kau lihat perempuan mandi kalau menyetir?”

“Idak lagi Ta..,” jawab Yadi terlihat malu.

*

Aku tak mungkin melupakan peristiwa itu. Aku dan Ami sedang duduk di ekor perahu, ketika Yadi menatap tak berjeda perempuan-perempuan yang mandi, saat kami menyusur Kampung Kapitan. Yadi tidak melihat perahu lain dari arah berlawanan sedang berbelok ke depan perahunya. Seharusnya Yadi memelankan kecepatan, memberi kesempatan perahu itu berbelok.

Aku dan Ami terbelalak. Karena paniknya, mulut kami tergembok. Otak memerintahkan kami memeringatkan Yadi. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya tangan yang mencengkram terpal penutup perahu kuat-kuat, mata terbelalak dan napas tertahan.

Penumpang di perahu seberang sudah berteriak-teriak. Tukang perahu memberi tanda. Tapi Yadi sedang mabuk perempuan, telinganya sedang tuli. Dan begitulah, “JEDERRR….!!!!!” Perahu bertabrakan. Perahu Yadi yang lebih besar bisa bertahan. Hanya sedikit oleng. Tapi perahu di depan yang lebih kecil itu nyaris terbalik. Para penumpang jatuh terjerembab mencium lantai perahu. Mereka memaki-maki Yadi yang mukanya melongo.

*

Kali ini kami memilih berperahu dengan Kak Ladi saja. Perahu Kak Ladi sudah bagus sekarang. Bisa memuat 30 penumpang. Berbeda dengan dulu, perahu geteknya kecil dan melapuk. Baunya apek. Berlumut pula. Paling muat 10 orang saja.

Dengan bangga, Kak Ladi memerkan perahu barunya ini kepadaku. Perahu getek ini dibelinya empat tahun lalu dengan harga Rp15 juta. Itu baru perahu saja, belum dengan atap dan aksesoris untuk memoles perahu. Kak Ladi harus menambah uang Rp6 juta lagi untuk menyempurnakan perahunya. Perahu berbahan kayu meranti itu dicat warna hijau dan biru.

Setiap pagi sebelum berangkat, Kak Ladi mengaku selalu melap perahunya hingga mengilap. Ia juga rajin mengecek kondisi perahunya secara berkala. “Kalau idak dirawat, wong nyeliknyo (melihatnya) jugo dak lemak. Kagek dak galak naik perahu kakak (nanti tidak mau naik perahu kakak).”

Kalau ada kayu yang mulai melapuk atau berlubang, itu tandanya Kak Ladi harus mengganti dengan kayu yang baru. Kalau kerusakan ada di dinding perahu, cuma butuh waktu sebentar saja untuk mengganti kayu. Yang merepotkan itu kalau kayu yang rusak di dasar perahu.

“Lamo itu. Butuh waktu seminggu. Biayanya tengah duo ratus (Rp150 ribu). Lamo kerno perahu harus dibalik dulu, dijungkirkan. Lalu dibalik lagi. Repot lah..”

Aku tertegun. “Lalu seminggu itu dak narik penumpang, kak?”

“Yo idak lah. Jadi dak dapet duit.” Senyumnya datar.

Perahu kebanggaan Kak Ladi itu dibeli dan dirawat dengan harapan yang menumpuk. Harapan mendapat penghasilan yang lebih baik untuk menghidupi istri dan dua anak laki-lakinya. Pariwisata kota Palembang yang mati-matian didongkrak pemerintah, membawa mimpi Kak Ladi akan memercik rejeki kepadanya, juga rekan-rekan senasib.

Tapi Kak Ladi dan tukang perahu lainnya tak bisa apa-apa selain mengigit jari, mengunyah mimpi dan harapan. Karena keberadaan mereka tidak ikut dihitung. Dermaga-dermaga kecil dibangun untuk memperpendek jarak. Orang-orang yang tadinya minta diantar ke kampung-kampung kecil di seberang sungai tak lagi memerlukan jasa tukang perahu tua seperti Kak Ladi.

Di dermaga-dermaga kecil itu banyak sekali tukang perahu baru, saling berebut rejeki. Ada juga deretan speed boat milik Dinas Perhubungan kota, yang bisa disewa untuk berkeliling Musi. Belum lagi kapal pesiar yang mewah-mewah itu. Pusing kepala kata Kak Ladi, kalau memikirkan semua itu.

Ongkos naik speed boat Dinas Perhubungan yang modern itu Rp500 ribu sekali jalan ke Pulo Kemaro. Lebih mahal dari tarif perahu getek macam Kak Ladi yang hanya Rp300 ribu, masih bisa ditawar pula. Tapi kapal getek itu kuno, jalannya pun lebih lambat. “Jadi orang-orang yang memilih gengsi, lebih suka naik speed boat itu. Lebih bagus, lebih modern dari getek,” tuturnya.

Menoleh kanan-kiri saja, sudah banyak perahu getek serupa. Kalau dulu hanya ada empat atau lima perahu saja, sekarang ada lebih dari 10 perahu di satu dermaga. Semua berdulur, rejeki harus dibagi sama. Tak boleh berebut, harus bergantian menarik penumpang.

Rejeki Kak Ladi menyusut. “Kalau dulu, setiap hari bisa bawa pulang uang sekitar Rp30 ribu. Sudah cukup itu untuk sehari-hari. Sekarang, dengan perahu besar ini, sekali angkut ke Pulau Kemaro bisa dapat Rp300 ribu. Tapi belum tentu seminggu sekali dapat uang. Malah sering aku tunggu seharian, pulang dengan dompet kosong. Tidak dapat penumpang satupun,” keluhnya.

Ada juga penumpang yang tega mengiris-iris hati Kak Ladi. Warga kampung di daerah Ulu, Palembang. Mereka kebanyakan orang susah seperti Kak Ladi. Tak mampu membayar banyak. Pernah ada 13 penumpang sekali angkut, hanya membayar Rp5.000 saja.

“Mau minta lebih nggak enak. Mereka orang susah juga. Tapi lama-lama kalau begini bisa bangkrut aku.”

Rejeki yang mengisut tak membuat Kak Ladi menarik getek dengan waktu yang lebih panjang. Ia tetap mengikuti jam kerja yang ia tetapkan sendiri. Berangkat pukul 10.00 pagi, dan pulang pukul 18.00 sore. Atau paling malam hingga pukul 20.00. Mata tuanya sudah tak sanggup menembus malam.

“Yang dipikirin itu tanggungjawabnya. Nanti orang malah mati di sungai kerno mato aku dak awas lagi. Padahal ini mau nyari duit yang bener.”

Begitulah, Guru Di. Aku melihat kemarahan yang terbakar di mata tua Kak Ladi. Kemarahan dalam ketidakberdayaan. Kemajuan pariwisata kota kelahiranmu ini, kata Kak Ladi, hanya untuk orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Orang-orang yang punya uang. Bukan para tukang perahu yang mencintai dan merawat sungai ini sejak mereka dilahirkan.

Aku sempat bertanya pula, kabar dua anak laki-lakinya. Mungkin dulu, ketika aku dan Ami sempat menjadi relawan, mengajar di perkampungan rumah rakit, anak-anak Kak Ladi ikut belajar bersama kami.

Garis muka kecewa tak bisa ia tutupi. Suaranya parau ketika menuturkan Iman, anak sulungnya, yang berhenti sekolah di kelas 1 SMP. Anak itu merasa tak punya motivasi untuk belajar. Berpikir kalau sekolah itu tidak berguna. Sekarang anak itu kerjanya hanya makan tidur di rumah.

Kak Ladi sempat menanyai Iman, apakah ingin pindah sekolah. Dijawab geleng kepala. Kosakata laki-laki tua ini terbatas untuk menasehati anaknya. “Aku kecewa sekali. Apalagi dia anak paling besar. Laki-laki pula.”

Selapis harapan ia tumpukan pada Azwar, anak keduanya yang kelas 6 SD. Ia ingin Azwar sekolah tinggi, agar tidak bernasib jadi tukang perahu seperti bapaknya.

Detak rasa bersalah membebaniku, Guru Di. Anak-anak di perkampungan Ulu Palembang ini, memang kurang termotivasi untuk sekolah. Untuk belajar. Dulu juga aku, Ami dan teman-teman lain harus bekerja keras menarik mereka berhenti berjudi di pinggir sungai, dan belajar di rumah kayu. Anak-anak di Ulu perlu didorong, disemangati untuk belajar.

Selepas berperahu, cerita Ami menggenapkan nyeri tentang kawan-kawan lama di kampung Ulu. Gadis-gadis kecil yang dulu sempat ikut belajar, banyak yang menikah muda. Lalu Pak Ulil yang menjual bensin di atas rakit, kini sudah tua dan pikun. Juga tentang rumah rakit Kak Aziz yang sudah doyong dan akan tenggelam kalau terdorong sedikit. Kak Aziz tak punya uang untuk mengganti kayu-kayu rumahnya. Juga tentang besan Yuk Mina yang di penjara. Dan seorang teman yang dicerai suaminya, lalu menjadi pengedar narkoba. Pelanggannya adalah polisi-polisi berpangkat rendah.

Aku jadi berpikir, Guru Di. Merenung. Mungkin, seharusnya aku tidak pernah meninggalkan tempat ini. Tetap menjadi relawan dan mengajar di Ulu ini. Membagi semangat untuk mereka mewujudkan mimpi. Entahlah… Perasaan sedih dan rasa bersalah itu sekarang bergulung-gulung. Rasanya egois, karena aku mengejar mimpi diri sendiri. Sedangkan mereka tenggelam di sini.

-eNJe-

Kambang Iwak, 16 Desember 2012

catetan : yang bikin judulnya Guru Di

Dewi Kawi – Arswendo Atmowiloto

44

Realitas itu ternyata tidak satu. Realitas selalu berubah. Bukan hanya maknanya, melainkan realitas itu sendiri. Realitas terbangun dari peristiwa, dan sesuai dengan perjalanan waktu, peristiwa itu diubah. Menjadi lebih cantik, atau menjadi lebih seram. Penyempurnaan terjadi terus, ketika seseorang itu meninggal. Upacara kematian, dengan pidato atau tulisan karenanya menjadi sangat diperlukan, agar lebih resmi.

68

Ketika cucu saya bermain dengan boneka, ia menciptakan dunianya. Nilai-nilai, yang sesuai dengan kehendaknya. Itulah rumusan kebebasan. Inilah yang kemudian, pada kita menjadi profesi. Seorang penari, seorang penyanyi… seorang artis… suni ini…

68

“Mode pun begitu, kan? Menciptakan kelangsingan, menciptakan kemontokan, menciptakan sensualitas dengan garis, dengan warna, dengan jahitan, dengan apa saja. Pokoknya menciptakan sesuatu yang baru, yang berbeda dengan sebelumnya.

“Kalau kita semua sepakat bahwa garis vertical membuat pemakainya lebih kurus, ya terjadilah itu. Kesepakatan itu menjadi wakta utuh.

75

Kadang begitulah, kita bisa dipersaudarakan oleh satu hal, tapi juga menjadi tidak dipersaudarakan dalam hal yang sama. Jalan terbaiknya ya kompromi.

76

Dalam hidup, kita selalu berusaha berkompromi. Dengan istri, dengan suami, dengan orangtua, dengan mertua, sesame besan. Satu-satunya yang utuh dan terus kita bentuk adalah kebebasan kita dalam melamun, dalam berimajinasi, dalam bermimpi.

81

Seharusnya aku bangga bisa merasakan lelehan timah ini, sebagaimana bangga dan melambung-lambung ketika jatuh cinta. Dua-duanya sangat terbuka untuk direkonstruksi, untuk direkayasa. Sebagaimana lelehan timah panas yang bisa dibentuk menjadi apa saja.

103

Kawi juga menangis, karena merasa terburu-buru. “Ling, bahkan dalam menangis pun kita sebenarnya tertawa. Bisa mensyukuri waktu…”

116

Semua bisa, karena Kawi hidup seperti yang lain. Dari satu peristiwa ke peristiwa. Dari peristiwa yang diciptakan sendiri atau bersama-sama, dari kenyataan yang terjadi atau dibuat sendiri, dari kebenaran yang selalu bukan satu.

118

Adalah suatu kesia-siaan ketika mencoba menghadang dengan pengertian dosa, atau salah, dan kemudian memberi hukuman atau marah.

Karena kebenaran sebenarnya hanya sebuah peristiwa.

Sebuah peristiwa yang tak selesai, walau untuk sementara.

127

Apa pun yang sudah ada, akan diubah. Karena ini kebebasan yang dimiliki. Kebebasan untuk lepas dari keterbatasan yang terlanjur diterima.

130-131

Ia ragu bukan karena takut kecewa, atau takut tidak bertemu atau harus mengubah apa yang selama ini diterima. Ia ragu kalau misalnya ada pertemuan, malah membuat Kawi merasa sesuatu yang salah, atau kalah, atau rendah. Karena bukan itu yang dimaui. Ia ragu karena sebenarnya ia hanya ingin mengatakan bahwa ia pernah mencintai, pernah bercinta dengan kawi, dan ingatan itu ternyata masih bisa ada dan membuatnya bahagia.