Pelajaran untuk Anak Kemarin Sore (catatan bekal dari kak Shanty Sibarani)

Catatan Oktober 2008

Anak kemarin sore itu masih gagap melihat ibu kota. Semua serba baru untuknya. Kota ini berlipat-lipat lebih luas dari kota tempatnya tinggal di Palembang. Padat minta ampun, serba semerawut, macet, gedung-gedung menjulang bersusulan, dan manusia yang serba apatis dan minim toleransi.

Dan dia, anak kampung yang punya mimpi menjadi penulis, tengah mencemplungkan diri pada kota mengerikan ini. Dia belum pernah mendapat pelajaran, bagaimana caranya menjadi wartawan. Apa yang harus dilakukan di kota ini? Sedang menjalankan tugas-tugasnya sebagai koresponden pun masih jauh dari sempurna.

Yang dia punya hanyalah semangat. Keyakinan kalau langkahnya sejauh ini adalah jalan untuk mewujudkan mimpinya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyerah sesulit apapun pekerjaan barunya ini. Dia akan belajar dari para wartawan senior di tempatnya bekerja.
***
Jauh sebelum sampai ke Jakarta, ia sudah mencatat satu nama yang ingin ia temui. Shanty Sibarani. Niat kuat yang bermula dari rasa kesal, gondok dan kagum yang tumbuh sekaligus.

Suatu ketika, di Palembang sana, ia meliput penangkapan teroris. Saat itu wartawan yang berada di tempat kejadian, memiliki keterbatasan akses ke sebuah rumah yang menjadi lokasi penangkapan. Ia dan wartawan lainnya hanya bisa bergerombol duduk di atap salah satu rumah warga. Memantau para petugas mengangkut karung-karung entah berisi apa dari dalam rumah. Semua polisi dan petugas gegana kunci mulut, membuatnya frustasi. Sementara redakturnya di kantor, menagih features dari liputannya.

“Bagaimana cara menulisnya? Kita tidak mendapat cukup informasi untuk diceritakan.” Ia bertanya kepada seorang wartawan senior yang ia temui di lapangan.

“Ya mau bagaimana lagi, tulis saja apa adanya. Jawab si wartawan senior.

Jawaban itu mengecewakannya. Mematahkan api semangatnya. Ia berpikir tentu ada cara untuk meliput lebih baik. Ibu redaktur tidak mungkin menugaskan hal-hal yang tidak masuk akal.

Besok harinya, terbelalaklah ia melihat berita utama koran. Penangkapan teroris di Palembang ditulis lengkap dengan deksripsi yang nyata. Jumlah bahan pembuat bom rakitan yang diamankan polisi. Letak penggeledahan di dalam rumah dan lainnya. Di berita itu tidak tertulis namanya sebagai penulis utama. Yang ada adalah nama Shanty Sibarani.

Dalam hati ia malu, merasa gagal. Hebat sekali orang ini, pikirnya. Si anak kemarin sore mencatatkan niat untuk menemui Shanty Sibarani saat ada kesempatan untuk ke Jakarta. Ia ingin belajar dari si wartawan senior…
***
Dan sampailah kesempatan itu. Ibu redaktur mengenalkannya pada si wartawan senior.

“Katanya kamu mau belajar sama kak Shanty. Itu temui dia.”

Si anak kemarin sore geragapan. Nyalinya belum cukup. Ada rasa minder juga malu bertemu wartawan hebat. Pertemuan pertama itu di ruang redaksi kantornya. Penampilan Kak Shanty jauh dari bayangannya tentang wartawan yang ia temui selama ini. Kumel dengan tas ransel di punggung, sandal gunung atau sepatu seadanya. Kak Shanty cantik dan wangi. Rambutnya yang hitam sebahu digerai rapi. Bibirnya diwarna merah terang. Seragamnya rapi dengan setelan celana panjang. Sepatunya hitam dengan hak tinggi. Tasnya seperti tas perempuan kantoran yang disandang di bahu.

“Aku mau belajar dari Kak Shanty.” Kata  si anak kemarin sore  mengenalkan diri dengan penuh keragu-raguan.

Tapi ternyata nyalinya langsung ditantang.

“Ya udah, besok elu ikut gue ke Polda. Lu wawancara si Yati itu, pelaku mutilasi.” Kata Kak Shanty. Senyum rekah di bibirnya yang merah terang.

Yati adalah tersangka mutilasi yang baru ditangkap petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya. Ia telah membunuh suaminya sendiri dan memutilasi tubuh sang suami menjadi 13 potong. Potongan-potongan tubuh suaminya itu dikumpulkan di plastik dan karung, kemudian dibuang di tempat-tempat terpisah. Di antaranya di bus Mayasari Bhakti dan di sebuah taksi yang ditumpanginya. Yati murka karena tak habis-habisnya disiksa lahir batin oleh laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.

Glek! Si anak kemarin sore ciut nyali. Mau mundur tapi malu hati, tadi sudah lancang memberanikan diri minta diajari.

“Kenapa lu? Takut?!” cetus Kak Shanty.

Ia menggeleng. Ah, sudah kepalang tanggung! “Aku mau belajar sama Kak Shanty,” katanya mantap.
***
Dan besoknya, berangkatlah ia ke Polda Metro Jaya. Si anak kemarin sore, yang masih anak bawang mendapat kemudahan akses masuk ke segala ruangan dengan mengekor Kak Shanty. Ketika wartawan-wartawan lain duduk seharian di luar ruangan menunggu pejabat kepolisian bersedia keluar ruangan untuk diwawancara, Kak Shanty melenggang keluar masuk menemui pejabat yang ingin ia temui.

Hari itu ia belajar dari Kak Shanty. Melihatnya mengobrol lepas dengan berbagai pejabat di kepolisian. Makan siang bersama di ruangan si pejabat. Dan mendapat banyak informasi yang belum didapat wartawan lain. Bahkan si petinggi kepolisian yang hendak diwawancarai langsung di radio, sempat minta diajari dulu sama Kak Shanti, bagaimana menyampaikan informasi yang tepat saat diwawancarai.

Hari pertama belum berhasil. Petugas yang mengawal Yati menyarankan agar besok datang lagi. Emosi Yati sangat tidak stabil. Dan ia sangat membenci wartawan. Si anak kemarin sore ini melihat Yati yang menatap ke arah wartawan penuh marah saat ia selesai diperiksa. Mungkin ia tak suka ditanya-tanya bagaimana dan mengapa ia membunuh suaminya.

Jantung si anak kemarin sore berdegup kencang tak karuan saat berpapasan dengan si tersangka. Yati berperawakan kecil. Kulitnya gelap. Rambutnya pendek di atas bahu.
*
Dan hari kedua, ia kembali melanjutkan misi mewawancarai si pelaku mutilasi. Dalam hati ia setengah berharap kak Shanty membatalkan rencana. Tapi  setengah perasaannya yg lain, juga berharap dirinya berhasil melaksanakan tugas. Hari itu ia  dilepaskan sendiri. Ia masih mendapat kemudahan akses untuk menemui Yati, karena Kak Shanty sudah menitipkannya pada petugas pemeriksa Yati dan pengacaranya, Haposan Hutagalung.

Yati diperiksa di salah satu ruang pejabat kelas bawah di kantor kepolisian itu. Ruangan disekat kaca yang hanya transparan di bagian bawah dan atasnya. Di tengah-tengah kaca diburamkan. Persis seperti ruang ATM. Sehingga yang nampak dari luar hanyalah kaki-kaki orang yang berada di dalam ruangan. Ia harus menunggu. Yati baru bisa ditemui setelah selesai menjalani pemeriksaan.

Pengacara Yati memintanya menyamar sebagai istri salah seorang petugas kepolisian yang bersimpati kepadanya. Jangan mengatakan identitas sebagai wartawan kalau tak ingin Yati meledak marah.

Si anak baru mencuri  lihat petugas membawa karung berat ke ruangan itu.  Dan kemudian dijejerkanlah segala benda tajam itu. Parang, celurit dan lain-lain. Yati sedang menuturkan kepada petugas parang digunakan untuk memotong bagian tubuh suaminya yang mana, juga benda tajam lainnya.

Seorang laki-laki paruh baya berpakaian lusuh duduk di dekat si anak kemarin sore. Air mukanya kolaborasi ketakutan dan mau muntah. Sama seperti si anak kemarin sore, fokus laki-laki itu pada Yati yang tengah diperiksa.

“Bapak kenal Yati?” Tanya si anak kemarin sore membuka percakapan.

“Gila itu orang! Dia bunuh suaminya sendiri. Mayatnya dicincang, dibuang ke mana-mana.”

Si anak kemarin sore terperanjat mendengarkan laki-laki paruh baya yang bicara berapi-api penuh marah. Laki-laki itu rupanya kenek bus Mayasari Bhakti. Bus tempat Yati meninggalkan beberapa potongan tubuh suaminya.

Si kenek menuturkan kisahnya. Beberapa hari jelang Idul Fitri, ia resah. Tak punya cukup uang untuk membeli daging. Jelang berbuka puasa, ia melihat plastik gemuk hitam milik penumpang tertinggal di salah satu kursi. Dipegang-pegangnya plastik itu. Dirasakannya tekstur daging mentah yang kenyal dan empuk.

Si kenek girang kepalang. Ia pikir ada orang belanja daging untuk memasak rendang sajian lebaran, dan tertinggal di bus. Ia anggap itu rejekinya. Ditentengnya plastik hitam gemuk itu pulang ke rumah. Sempat dibawanya ke rumah makan, tempat ia berbuka puasa sebelum pulang.

Dan kagetlah ia ketika membuka plastik hitam gemuk itu berdua istrinya di rumah. Sepasang kaki yang dipotong dari pergelangan kaki mencuat dari plastik, sudah bau, menggembung dan busuk. Suami istri itu muntah-muntah, jijik dan ketakutan.

“Itu dia tu mbak orangnya. Orang sintiiing! Gilaaa!!” Kata laki-laki itu frustasi sambil menahankan mual di ujung kerongkongan.

“Mbak nemu potongan mayat suaminya juga ya?” Si kenek mencari teman senasib.

Belum sempat si anak kemarin sore menyahut. Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Para penyidik sudah selesai meminta keterangan Yati. Sekarang gilirannya masuk. Alih-alih sempat menguatkan mental, dialognya dengan si kenek bus malah membuat kecemasannya jungpalitan. Tapi ia harus maju. Ia tidak boleh mengecewakan dan membuat malu kak Shanty.

Diketuknya pintu, dilihatnya Yati masih merokok dengan raut muka waspada. Pelan-pelan ia masuk, hanya berbekal sebungkus roti dan minuman sari kacang hijau yang tadi sempat dibelinya untuk Yati. Petugas menutup pintu ruangan itu. Meski petugas menunggu di luar, dan bisa memantau gerak orang di dalam ruangan lewat gerak kaki, tetap saja hati si anak baru ini cemas. Sekali saja emosi Yati tersulut, mudah saja kalau Yati mau menyambar asbak di depannya dan menghantamkan ke kepala pengganggunya ini.

Tak ada buku catatan atau alat perekam. Ia harus tenang, karena hanya mengandalkan ingatan. Yati bisa menerima ‘kunjungan simpati’ itu dengan terbuka. Lancar ia bercerita kisah sampai membunuh suaminya.

Yati menuturkan rasa bersalahnya pada anak-anak dari suaminya terdahulu. Karena itu ia menolak dikunjungi anak-anaknya. Biar dosa dan malu putus pada dirinya sendiri. Tak usah menyambung pada anak-anaknya yang tak tahu apa-apa. Yati pilu oleh dosanya sendiri. Sudah meninggalkan anak-anak dan suaminya yang setia karena mabuk cinta pada laki-laki cinta pertamanya, kini menjadi pembunuh pula. “Sekarang anggap saja saya sudah tak ada. Tak punya hubungan apa-apa lagi dengan mereka,” tuturnya getir.

Yati malah mengingatkan si pembesuknya ini untuk berhati-hati mencari pasangan kelak. Agar jangan bernasib malang sepertinya. Badan habis disiksa suami. “Jangan hanya karena cinta saja neng, kita jadi buta. Lalu akhirnya kita menderita. Seperti saya ini.”

Yati memeluk si anak kemarin sore dengan tulus sebagai tanda perpisahan. Yati berjanji, jika tamunya datang lagi akan diajarkannya membuat kue-kue jajanan pasar. Perempuan sadis yang murkanya meletup itu ternyata masih punya perasaan dan naluri kasih sayang. Wawancaranya selesai dengan manis. Segala kekhawatiran di kepalanya tidak terjadi.

Si anak kemarin sore pulang dengan langkah ringan. Senyumnya rekah sendiri seperti perempuan sedang jatuh cinta. Perasaan senangnya meledak-ledak. Apalagi ketika di luar gedung, para pewarta masih duduk bosan menunggu Yati keluar bisa diwawancarai. Si anak kemarin sore berjalan dengan kepala tegak, ia terlalu riang untuk menghiraukan tatapan-tatapan tak suka dari rekan seprofesinya. Di halaman Polda Metro Jaya itu ia melompat kegirangan dan tertawa sendiri. Ia ingin segera pulang dan merampungkan tulisannya.

Dari kak Shanty ia mencatat. Pelajaran pertama menjadi seorang wartawan adalah soal keberanian. Dengan berbekal rasa berani, yang lain-lain bisa menyusul dipelajari. Namun ketika tidak bisa menaklukan ketakutan diri sendiri, maka segala hal yang dipelajari akan sia-sia.

Menu Makan Bubu–Pure Sayur Umbi

Bahan:
labu kuning kupas, cuci, potong kecil-kecil
Wortel kupas, cuci, potong kecil2
Kentang secukupnya

Cara membuat:
Kukus ubi jalar, wortel dan kentang dalam dandang panas hingga lunak
Haluskan dengan penyaring khusus dengan cara ditekan-tekan dengan menambah air bekas mengukus sayuran sesuai kekentalan yang dikehendaki.
Sajikan segera.

Menu Makan Bubu–Sari Kacang Hijau

Bubu mulai makan ini umur 6 bulan.

Bahan:
Kacang hijau segenggam, cuci bersih
Air untuk merebus
Susu secukupnya

Cara membuat:
Rendam kacang hijau selama satu jam. Kemudian rebus sampai lunak. Saring. Tambahkan susu secukupnya saat akan disajikan.

Catatan:
Sari kacang hijau bisa dibikin untuk 2-3 kali makan. Simpan di wadah tertutup di dalam kulkas. Panaskan secukupnya saat hendak disajikan.

Menu Makan Bubu-Krim Sup

Menu makan Bubu umur 7 bulan. Ini kesukaan Bubu!

Bahan:
Kentang 1 butir
Buncis 4 batang
Seledri 1 tangkai
Ayam rebus secukupnya
Susu secukupnya
Keju chedar parut
Kaldu ayam (dari rebusan ayam + ceker)
Bawang bombay cincang halus

Cara membuat:

Belah dua kentang, kukus terlebih dahulu. Menyusul kemudian buncis dan sledri.

Blender kentang kukus bersama buncis, sledri dan ayam. Potong kecil-kecil terlebih dahulu supaya mudah. Tambahkan kaldu.

Panaskan panci anti lengket. Masukkan sisa kaldu. Tambahkan bawang bombay cincang halus. Aduk-aduk sampai harum. Kemudian masukkan hasil blender tadi. Aduk sampai mendidih. Tambahkan keju parut secukupnya sebagai perasa.

Catatan:
Krim sup bisa dibuat untuk 2-3kali makan. Simpan di kulkas dalam wadah tertutup. Hangatkan kembali saat hendak disajikan. Sebelum penyajian tambahkan sedikit susu.

Menu Makan Bubu–Bubur Roti Keju

Menu makan Bubu umur 7 bulan.

Bahan:
Selembar roti tawar, sisihkan kulitnya.
Susu secukupnya
Keju chedar parut secukupnya

Cara membuat:
Sobek-sobek roti tawar. Rendam dalam air susu. Penyetkan sampai halus. Tambahkan keju chedar parut secukupnya.

Catatan:
Menu ini disiapkan dadakan saat hendak makan. Jangan dibiarkan terlalu lama, karena khawatir susu keburu basi dan rasanya berubah.

Menu Makan Bubu–Bubur Labu Bayam

Bahan:
Beberapa potong labu kuning.
Beberapa lembar daun bayam merah dan daun bayam hijau.
Susu secukupnya.

Cara membuat:
Kukus labu kuning terlebih dahulu. Saat labu hampir matang, masukkan daun bayam. Tunggu semuanya matang, angkat.

Haluskan labu kuning dan bayam. Bisa pakai blender, bisa diulek/dipenyetkan. Saring halus. Tambahkan sedikit susu. Sajikan hangat.

Catatan:
Daun bayam tidak tahan lama. Tidak baik disantap lewat dari lima jam. Sebaiknya menu ini dimasak untuk segera disantap.

Bumi Belajar Makan (4): Ayo kita makan sayuran dan lain-lain!

edit1546271_10204993764831260_2242814890554278781_n

Genap tujuh bulan umurmu, Nak! Sejauh ini kita sudah berhasil makan buah-buahan dan umbi-umbian tunggal dengan susu. Untuk sayuran, sudah mencoba labu siam dan wortel. Kau masih kurang suka sayur. Memang begitu katanya, kalau anak-anak sudah mengenal buah-buahan lebih dulu, cenderung tidak suka sayur-sayuran. Tapi kita harus biasakan ya, Nak. Biar terbiasa sampai dewasa. Seperti Ayah dan Ibu yang sangat suka makan sayur. Terutama Ibu. Penggemar lalap dan segala macam sayur. Termasuk yang pahit-pahit seperti pare dan daun pepaya.

Ibu sekarang sedang rajin membaca beberapa buku resep masakan bayi, memilih-milihkan menu buatmu. Agar bubur untukmu bukan sekadar lengkap, dijadikan satu dan diblender. Tetap kombinasinya tepat dan ada cita rasa yang enak.

Untukmu, Ibu pilihkan beberapa bahan makanan tambahan yang aman dikonsumsi bayi. Ini catatan ibu:

Seledri
mengandung kalsium dan fosfor yang lumayan. Dalam 100 gram seledri terdapat 50 miligram kalsium, dan fosfor 40 miligram. Kandungan fitonutrien dalam sledri yakni kolin dan saponin bermanfaat meningkatkan kecerdasan dan mengobati penyakit tipus, alergi serta gatal-gatal.

Bayam
Sayuran berwarna hijau ini mengandung vitamin A (dalam bentuk betakaroten) yang tinggi, yakni 1872 mikrogram/100 gram. Selain itu, bayam juga kaya vitamin B, vitamin C, asam folat, serta mineral kalsium, fosfor, mangan dan zat besi. Bayam juga sangat penting untuk pembentukan otak bayi. bayam merah juga sumber vitamin dan mineral terutama kalsium. Dalam 100 gram bayam merah, terdapat 368 miligram kalsium. Selain itu, bayam merah juga kaya akan fosfor dan zat besi, serta vitamin A,B1 (tiamin) dan C. Bayam juga berkhasiat meningkatkan stamina, menjaga kesehatan mata serta mencegah animea dan sembelit.

Labu siam
Kaya akan fosfor dan kalsium. Dalam 100 gram labu siam mengandung 25 miligram fosfor dan 14 miligram kalsium.

Wortel
Mengandung antioksidan yang melindungi otak dalam bentuk karotenoid dan vitamin C. Selain itu juga baik bagi kesehatan mata anak.

Brokoli
Mengandung sulforatan, zat antioksidan yang paling ampuh. Selain itu, fitonutrien dalam brokoli seperti klorofil dan flavonoid mampu mempercepat proses penyembuhan setelah tubuh mengalami sakit berat. Brokoli direndam air garam supaya bersih dari ulat dan kotoran lainnya.

Tomat
Salah satu zat gizi yang banyak terdapat dalam tomat adalah selenium. Bersama asupan vitamin E dalam jumlah yang cukup, selenium memperlambat laju perusakan sel tubuh oleh senyawa radikal bebas. Tomat dapat mengobati flu dan gusi berdarah. Selain itu, minum jus tomat satu jam sebelum makan dapat meningkatkan nafsu makan anak.

Jagung
Berguna untuk pertumbuhan tulang dan membangun otot. Karena magnesiumnya tinggi. Selain itu, fosfor yang terkandung pada jagung kuning berguna meningkatkan fungsi otak dan sistem saraf.

Buncis
Memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap, seperti serat, vitamin C, vitamin B kompleks dan fosfor. Karenanya buncis bermanfaat memperlancar saluran pencernaan, mencegah sembelit dan membantu kemampuan anak berkonsentrasi.

Kacang panjang
Baik dikonsumsi anak karena kandungan zink yang membantu proses pembentukan sejumlah enzim dalam tubuh. Misalnya zink yang dikombinasi dengan vitamin C dapat menangkal batuk, pilek dan flu.

Bawang bombay
Mengandung mineral dan vitamin yang dibutuhkan tubuh. Antara lain kalsium, kalium, zat besi, fosfor, vitamin C dan vitamin E. Bawang bombay juga sangat baik menjaga kesehatan tulang karena mengandung komponen yang dapat menghambat osteoclast (sel pengurai tulang yang membuat tulang keropos).

Keju
Produk olahan susu dengan nilai gizi yang baik. Keju kaya akan protein, lemak, kalsium dan fosfor yang membantu pertumbuhan tulang dan gigi.

Telur
Zat besi banyak terkandung dalam telur. Zat besi sangat penting bagi kesehatan fungsi otak. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan lemahnya daya konsentrasi.

Tempe
Bergizi tinggi karena terbuat dari kacang kedelai yang banyak mengandung protein. Protein baik untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh. Protein juga berperan membentuk antibodi, mengangkut zat-zat gizi, memelihara asam basa tubuh, dan mengatur keseimbangan cairan. Selain itu, kedelai juga mengandung delapan asam amino penting yang berperan sebagai zat pembangunan bagi tubuh dan meningkatkan kecerdasan anak.

Makaroni
Produk olahan tepung gandum dan terigu. Makaroni kaya akan karbohidrat, kalsium dan fosfor yang penting untuk pertubuhan tulang dan gigi. Dalam 100 gram makaroni terdapat energi 353 kkal, protein 8,7gram, lemak 0,4 gram dan karbohidrat 78,7 gram.

Roti tawar
Memberi sumbangan energi bagi tubuh.

Tahu
Mengandung protein rendah lemak serta sarat akan mineral, terutama zat besi, magnesium dan kalsium. Ketiga mineral tersebut merupakan zat gizi penting untuk kesehata otak dan sistem saraf, serta pertumbuhan anak.

Kacang hijau
Kaya akan vitamin B1 ya ng berperan dalam metabolisme karbohidrat dan fungsi normal sel saraf. Zat besi dalam kacang hijau juga bermanfaat untuk mencegah animea sehingga meningkatkan konsentrasi pada anak.

Kismis
Digunakan sebagai sumber energi untuk mendukung aktivitas sehari-hari. Setiap 100 gram kismis mengandung energi sekitar 300 Kkal. Kismis juga mengandung senyawa yang dapat melawan bakteri penyebab kerusakan gigi.

Hari Pertama Bubu di Tahun Pemilu

Perempuan itu enggan beranjak dari sofa panjang cokelat tempat suaminya tidur. Tubuhnya menolak berbaring di tempat tidur rumah sakit. Suami istri itu saling menggengam tangan, tidur meringkuk bersempit-sempitan di sofa seadanya yang disediakan di kamar itu. Mereka tengah saling menentramkan risau yang terus berdesau.

Hampir tengah malam ketika pintu kamar ruang Catleya itu diketuk. Suster mengantar sepiring nasi goreng. “Ini dimakan sekarang sebelum mulai puasa ya, Bu.”

Dijawab anggukan dengan muka enggan.
Kamar itu sudah bau pizza dan keju. Sang suami membeli seloyang pizza di restoran seberang rumah sakit, sesaat setelah kamar itu dipesan. Tapi pizza yang biasanya jadi kesukaan mereka berdua tak lagi nikmat. Menyelesaikan kunyahan seiris saja setengah mati lamanya. Tapi nasi goreng itu disentuh juga. Satu dua suap sekadarnya.
*
Mereka berdua sudah lama menunggu hari ini. Tanggal yang mereka tentukan sendiri untuk kelahiran anak pertama mereka. Rangkaian persiapan sudah dijalani sejak tadi pagi. Mulai periksa darah, tes jantung yang mengharuskan perempuan itu bertelanjang dada dan banyak kabel ditempeli di dadanya. Mesin-mesin berdenyut menghitung detak. Sampai mendaftar di ruang persalinan.

Di ruang persalinan itu, si perempuan diminta menghitung jumlah gerak bayinya. Ia diminta menekan sebuah tombol setiap bayinya bergerak. Mesin lain ditempelkan di perutnya untuk menghitung detak jantung si bayi. Perempuan itu berbaring sendiri, sang suami tak boleh masuk.

Hening dan degup kencang jantung si bayi, seperti menghitung cemas dirinya. Di ruang sebelah, dua perempuan lain tengah bertaruh nyawa lebih dulu, menjalani persalinan normal. Merintih, menjerit menahankan sakitnya. Dokter Inayat yang menangani persalinan mereka, meminta peran aktif suami mendampingi, merekam dan memotret proses lahir anak mereka.

“Kelahiran adalah proses yang menakjubkan. Kelahiran itu keajaiban yang luar biasa. Suami harus menyaksikan dan mendampingi istrinya,” begitu kata dokter Inayat pada setiap pasangan suami istri yang menjadi pasiennya. Termasuk pada perempuan itu dan suaminya.
*
“Tidurlah.. En perlu istirahat..” kata sang suami mengusap kepala istrinya.

Perempuan itu makin tak tenang, ia menghitung waktu. Hanya tinggal empat jam lagi sebelum proses lanjutan dilakukan. Operasi akan dimulai pukul 08.00 WIB. Dengan enggan ia menyeret kakinya, berbaring juga di kasur rumah sakit itu. Memaksa dirinya dan bayinya untuk tidur.

“Besok kita bertemu, Nak. Semoga semuanya lancar dan baik-baik saja,” gumam perempuan itu pada bayi di perutnya.
*
Suster tak menoleransi waktu. Tepat pukul 04:00 ia mengetuk pintu. Membangunkan perempuan itu. Dengan enggan dan pasrah ia membiarkan suster  menyemprotkan obat pencahar melalui anusnya. “Reaksinya kira-kira 10 menit lagi.” Kata si suster sambil tersenyum. Dan beranjak meninggalkannya lagi.

“Nanti siap-siap ke ruang operasi jam 07.00 ya, Bu.”

Selera tidur perempuan itu hilang sekejap. Mulas di perut tak henti-henti. Terkantuk-kantuk ia duduk di kakus mengeluarkan isi perutnya. Sekalian saja ia mandi dan bersih-bersih, menyiapkan diri.
*
Pukul 07.00 suster menjemput dengan kursi roda. Sang suami belum bersiap. Baru saja rampung mandi. Masih agak mengantuk karena kurang tidur. Terpaksalah sang istri berangkat lebih dulu ke meja eksekusi.

Ruang operasi itu terdiri dari tiga ruangan. Dua ruang eksekusi, dan ruang pemulihan. Di ruang pemulihan ini pasien bersiap. Berganti baju, pasang infus dan lain-lain. Perempuan itu bukan satu-satunya pasien hari ini. Seorang laki-laki paruh baya sudah terbaring pasrah penuh doa di tempat tidur. Menunggu gilirannya dipanggil. Suster pengantar menyerahkan perempuan itu pada petugas-petugas ruang operasi.

Para petugas itu juga suster-suster yang khusus bekerja di ruang operasi. Juga ada seorang dokter anastesi. Mereka semua berbaju hijau dan memakai plastik tutup kepala serta masker dengan warna yang sama. Seorang petugas yang hanya nampak matanya, memasangkan infus di salah satu pergelangan tangan perempuan itu.

Mereka menyita kaca mata dan blackberry perempuan itu. Si pasien baru rela menyerahkan barang miliknya setelah dijelaskan oleh para petugas, bahwa dirinya kelak tak kan bisa melakukan apa-apa selama proses operasi. Termasuk memotret dan merekam peristiwa di ruang operasi.

“Suaminya nanti ikut ke dalam kan?”

“Iya..”

“Ya berarti nanti suaminya saja yang rekam dan foto-foto.”

Sesudahnya, petugas yang lain mengantar perempuan itu untuk berganti pakaian. Perempuan itu diminta melucuti seluruh pakaian di tubuhnya, dan mengganti dengan sehelai baju yang diberikan si petugas tadi.

Pakaian khusus pasien operasi itu tak ada kancing atau resleting. Hanya tali-tali yang harus diikatkan di belakang tubuh. Itu pun tak rapat menutup punggung dan bokong, ada celah kira-kira dua tiga senti yang terbuka. Membuat perempuan itu malu dan berusaha terus merapatkan sehelai pakaiannya itu.

“Sudah bercukur?” Tanya si suster.

Yang dimaksud adalah mencukur rambut kemaluan. Menjadi syarat wajib dalam operasi caesar.

“Sudah,” jawab perempuan itu singkat. Ia sudah meminta suaminya untuk mencukurkan dua hari lalu. Malu kalau harus dicukurkan oleh orang lain. Sementara diri sendiri sudah tak bisa melakukannya. Perut membuncit sudah menghalangi dan membuatnya sesak kalau harus menunduk-nunduk.

Dan akhirnya, petugas itu menyuruhnya berjalan sendiri ke ruang operasi. Cuma kepasrahan yang ia punya. Cemas atau tidak, proses ini tetap harus dijalani. Dan tak ada gunanya jika ingin mengulur waktu.

Seorang perempuan tua berwajah bundar dengan rambut keperakan mencoba tersenyum ramah dari balik maskernya. Ia adalah dokter anastesi yang akan membiusnya. Perempuan itu diminta memeluk sebuah bantal sesaat setelah duduk di meja operasi. Bantal itu untuk menahankan sakitnya.. Sebentar lagi.

Selang berapa detik saja, perempuan itu merasakan jarum tajam menembus tulang belakangnya. Lebih lama dan lebih dalam menusuk daripada suntikan biasa atau jarum infusnya tadi. Reaksi tubuh membuatnya memeluk bantal kuat-kuat, menahankan sakit. Dan hap. Begitu rupanya rasa dibius. Badannya mendadak sekaku kayu. Otaknya memerintahkan jari-jari kakinya bergerak. Namun tak ada reaksi apa-apa.

Perempuan itu panik dalam diam. Matanya menatap kakinya yang tak menuruti perintah, lalu pandangnya beralih pada senampan pisau dan gunting di sebelah kanannya. Para petugas membaca kepanikan dari matanya.

“Ibu tenang saja, jangan takut, jangan panik.”

Dengan bertenaga para petugas mendorong badan perempuan yang sudah kaku terbius itu rebah di meja operasi. Kedua tangannya direntangkan di kanan kiri dan diikat. Selang oksigen dipasangkan di hidungnya. Selembar kain hijau dipasang memalang pandangan matanya ke arah perut yang akan dibedah. Ia merasakan baju operasinya tadi disingkap hingga dada. Memaksa pikiran dan perasaannya tunduk pada kepasrahan, agar tak lagi coba melawan.

Kesadarannya hanya separuh. Matanya terkantuk-kantuk. Ia bisa merasakan oksigen mengalir kencang menggelitiki hidungnya. Dalam kerjap-kerjap itu ia melihat tim dokter sudah lengkap. Lalu disusul suaminya yang juga berpakaian serba hijau, wajahnya ditutupi masker, hingga hanya tinggal mata yang nampak. Dari garis di matanya, ia tahu suaminya tersenyum menguatkan. Namun perempuan itu tak sanggup bicara apa-apa, walau hanya sepatah kata. Hanya matanya sebentar pejam sebentar terbuka, menatap suaminya.

“Foto dulu dong pak,” ujar para dokter sebelum memulai operasi. Perempuan itu sempat melihat para dokter dan suster itu tetap bergaya meski wajah mereka ditutupi masker.

Dan 1.., 2.., 3… Ada lagu mengalun. Sealbum lagu Tulus mengalun jernih dengan volume maksimal dari speaker kualitas nomor satu di ruang operasi itu.

Perempuan itu pikir.., ia akan mendengar dialog-dialog mengerikan dalam hening selama proses operasi berlangsung. Dialog seperti, “Tolong ambilkan pisau nomor sekian.” Atau “Itu posisi pisaunya terlalu kiri.” Atau semacamnya. Tapi ternyata dialog yang dia dengar adalah bincang-bincang tentang pemilu presiden seperti di warung kopi. Hari itu, Selasa, 20 Mei 2014 bertepatan dengan pendaftaran terakhir pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di KPU.

“Saya sebetulnya pengen Dahlan Iskan jadi Presiden. Tapi ya bagaimana, konvensi Partai Demokrat begitu hasilnya. Tidak ada capres yang maju,” kata salah seorang dokter.

“Saya sreg saja sama Jokowi. Tapi saya kuatir ia terlalu dikendalikan Mega,” kata suara yang lain.

Dialog mereka berakhir dengan suara senada, kemungkinan akan memilih Prabowo Subianto di pilpres nanti. Ternyata dialog itu tak sampai sepanjang siaran dialog politik pada waktu tayang prime time di televisi. Karena tak lama sesudahnya dokter kepala memanggil suami si perempuan yang tengah digores perutnya itu.

“Bapak siap-siap, anaknya sudah mau keluar.”

Dan si suami yang dari awal sudah menguatkan mentalnya, masih terus kuat dan tetap tenang merekam juga memotret proses persalinan istrinya itu. Tentu ini saat paling mendebarkan dalam hidupnya. Menyaksikan kelahiran anak pertamanya.

Para dokter serius bekerja. Segaris kulit perut yang sudah digunting tadi, dibuka lebih lebar dengan kedua tangan dokter yang bersarung tangan. Lalu mereka mengambil alat serupa vacum untuk menarik kepala si bayi. Dengan bunyi “POP!” Kepala si bayi menyembul dari perut perempuan itu. Mata si bayi masih terpejam. Mungkin ia tidur. Dokter segera memasukkan selang ke hidung si bayi, menyedot banyak cairan.

Si bayi yang badannya masih berada di dalam perut perempuan itu mulai menangis. Karena selang yang menyolok hidung didorong sampai jauh melewati kerongkongannya. Itu tangis pertamanya.
“Selamat hari kebangkitan nasional, nak! Selamat bapak, ibu, bayi laki-lakinya sehat,” Kata si dokter kepala.

Tim dokter kemudian menarik badan bayi laki-laki itu keluar, mengurai tiga lilitan tali pusar di badan si bayi.

“Kalau lilitan tali pusarnya banyak, biasanya nanti anaknya jadi ganteng. Pantes pake baju apa aja,” masih kata si Dokter Kepala.

Bayi laki-laki berkulit putih itu kemudian dibawa keluar ruangan untuk ditangani dokter anak. Si laki-laki yang kini resmi menjadi ayah itu juga diminta keluar ruangan. Tugas penting menunggunya. Mengumandangkan adzan di telinga anaknya.

Sementara si perempuan masih harus menjalani proses jahit yang membuat tubuhnya terguncang-guncang. Sebelum dikembalikan ke ruang pemulihan.

Dan di ruang pemulihan itulah, ia pertama kali menatap wajah bayinya. Perih pelan-pelan melipir memenuhi luka di perutnya yang basah. Air mata perempuan itu berlinangan. Bukan karena perih luar biasa yang makin lama semakin tegas terasa. Tapi karena rasa haru menatap anak pertamanya.

Untuk pertama kalinya ia menyentuh pipi halus bayinya. Sang bayi tertidur dalam bungkusan rapat bedong dan topi merah jambu yang diberikan perawat. Ada lekuk di tengah bibirnya yang kemerahan. Ada belah di dagu bayinya. Persis seperti dagunya…

“Halo, Nak. Akhirnya kita bertemu juga. Bumi Dipantara Perdana.” Kata perempuan itu mengecup kening sang bayi. “Bumi.. Bumi.. Bumi..” Perempuan itu memanggil di antara haru dan pedih lukanya, tangannya terus mengusap pipi anaknya. Sang bayi hanya menggeliat pelan, lalu tertidur lagi. Menyandarkan kepala di tangan ibunya..

Mbak wita   Kepala bubu ditarik  Di observasi dulu Dandan dulu ya bubu lagi bobo

Bumi Belajar Makan (3): Yang Jijik Sama Bubur

20141206(3)_1

Setelah berhasil dengan biskuit, kami mencoba makanan padat lainnya. Banyak saran dan masukan yang kami dapat. Setiap bertanya dengan orang yang berbeda, maka akan mendapat masukan yang baru dan berbeda pula.

Setelah menimbang berbagai saran dan masukan itu, kami mencoba dengan bubur susu. Kakak sepupuku bilang, bubur susu diberikan sekali sehari selama seminggu pertama belajar makan. Supaya lambungnya dikasih waktu untuk beradaptasi. Pilih bubur beras merah, karena lebih sedikit kadar gulanya. Bayi yang memulai makan belum boleh makan makanan dengan penyedap rasa, garam dan gula.

Bubur dalam porsi mini itu ditambahkan dua sendok susu bubuk (aku nggak punya asi. Iya, kenapa?! Masalah?!). Disaring tiga kali biar haluuuus banget.

Dannn jreng jrengg…. Begitu suapan pertama masuk ke mulut Bumi, ekspresinya kaget. Sepertinya dia merasa jijik ada sesuatu yang padat di lidahnya. Sambil mewek lidahnya dijulurkan. Mulutnya tidak mau mengatup sebelum si bubur pergi dari lidahnya. Lalu dia menangis ketakutan. Ya ampun.. Ibu gagal 😦

Gagal dengan si bubur beras merah, lalu Ibu mencoba ubi kuning dan kentang. Masih belum berhasil juga….

Ibu belajar lagi. Membaca beberapa buku dan artikel di internet. Meminta masukan dan saran dari beberapa teman.

Masukan dari Ibunya Akhtar yang rasa-rasanya paling pas untuk dicoba. Katanya, “Mulai dengan buah-buahan dan sayuran dulu. Jangan langsung dikasih karbohidrat yang berat-berat. Kan namanya juga masih belajar. Makanannya juga jangan yang teksturnya terlalu padat dulu..” Begitu katanya.

Lalu Ibunya Akhtar yang baik hati itu, menghadiahkan kita sebuah buku pengantar makanan bayi yang lengkapp dan bagus. Yeay! Terima kasihhh… :*

Baiklah.. Mari kita coba pisang. Pisang ambon yang manis itu dikerok pakai sendok dan langsung disuapkan. Ow.. Ow.. Ow… Bumi masih menolak, masih trauma dengan buburnya. Akhirnya aku coba kasih pisang yang masih utuh. Membiarkan Bumi memegang, membaui dan mencicipi seperti saat dia makan biskuit. Responnya positif, alhamdulillaaah…

Berhasil dengan pisang, kemudian mencoba apel. Si apel merah  dikukus dulu sebentar lalu diblender sampai halus. Kemudian disaring dua kali. Dan… Bumi ternyata lumayan suka. Apelnya memang manisss..

Aku pun jadi semangat mencoba menu lainnya. Berturut-turut,  labu siam, pepaya, wortel, jagung, buah naga. Pernah labu dicampur wortel, tapi Bumi tidak suka. Tapi kalau dikasih satu macam saja, wortel saja dan labu saja, Bumi mau. Mungkin kalau dicampur jadi bingung ya, Nak. Rasa dan aromanya jadi membaur.

Yang Bumi paling suka adalah bubur pepaya. Begitu sendok mendekat di mulutnya, Bumi langsung buka mulut dan hap! Memakan pepaya dengan lahap. Dikulum-kulum manis lalu ditelan. Sebentar saja langsung ludes.

Saat wortel, hampir-hampir gagal lagi. Mungkin karena tekstur wortel yang lebih padat. Akhirnya semangkuk bubur wortel tadi dicampur air lagi hingga teksturnya lebih cair. Walaupun tidak selahap makan pepaya, pelan-pelan sambil main dan ngobrol makannya habis juga :’).

Ada juga yang dikasih pakai botol susu. Sari kacang hijau dan air jeruk pontianak. Bumi lumayan suka sari kacang hijau yang dicampur susu. Tapi kalau air jeruk, dua kali ngasih, dua kali gagal. Bumi tidak suka. Bahkan jadi tidak mau minum apa pun di botol susu bekas air jeruk itu. Mungkin dia masih tercium aroma jeruknya. Heuheu…

Kita belajar buah / sayur tunggal dulu ya, Nak. Sampai Bumi terbiasa makan. Nanti kita coba menu kombinasi. Besok Ayah mulai cuti, kita ajak Ayah ke kios buah, beli alpukat dan mangga harum manis.

Makan yang banyak dan sehat-sehat selalu ya Bumi.. Kesayangan Ayah Ibu.. *peluk erat*

NB:

Waktu di imunisasi hari Minggu kemarin, tinggi Bumi sudah 74cm. Beratnya 9,3kg. Kelebihan berat badan 1,3kg kata dokter Titi. Dokter Titi menyarankan agar Bumi tidak makan karbo yang berat-berat dulu, tapi lebih banyak buah dan sayuran.

Bumi Belajar Makan (2): Persiapan Makan Bubu Chan

20141203(3)

Naaah… Tiba harinya Bumi mulai belajar makan. Hari itu sepekan sebelum umur Bumi 6 bulan. Seorang kakak sepupu malah mulai memberi anaknya makan umur 5,5 bulan, atas saran dokter tentunya. Berdasarkan pengalamannya (dan karena sudah tak sabar), maka kami mulai memberi makan Bumi sepekan lebih awal.

Hari Minggu di pertengahan Oktober, saat Àyah Ibu sedang libur, Bumi memulai makannya. Aku menyiapkan bouncher dialasi bedong supaya nggak lengket kena bekas makanan. Lalu menyiapkan mainan-mainan kesukaan Bumi, supaya dia anteng. Karena Bumi cepat merasa bosan kalau menganggur saat duduk di bouncher.

Kalau Ayah, sudah siap dengan hapenya. Siap memutar lagu anak-anak untuk menggembirakan hati Bumi, juga merekam dan memotret moment pertama bagi kami bertiga.

Lalu selain menyiapkan makanannya, siapkan juga air minum. Air bening saja supaya nggak enek. Kalau aku menyiapkan air minum di gelas dan di botol susunya. Air di gelas untuk diambil sesendok-sesendok membantu Bumi menelan makanannya. Kalau yang di botol, siap-siap aja kalau-kalau Bumi haus dan ingin minum yang banyak.

Nah.. Setelah semuanya itu… Bumi duduk anteng di bouncher, dipakaikan celemek dari Wa Umi. Celemeknya sudah nggak bisa dikancing di leher, sudah nggak muat karena Buminya bongsor. Haha…

Kami memulai dengan biskuit bayi. Bumi menatap antusias biskuit yang disodorkan Ibunya. Pelan-pelan tangannya menggapai dan menangkap biskuit itu. Dimasukkan ke mulutnya seperti kalau ia sedang main ‘kunyahan’. Dikecap-kecap penasaran.

Wah… Ternyata enyaak! Sebentar kemudian Bumi pun lahap, bersemangat memasukkan biskuit ke mulutnya. Biskuit yang lumer belepotan di hidung, pipi, jari-jari dan dadanya. Pegangannya yang belum mantap bikin biskuit sesekali terlepas. Kalau sudah begitu Bumi langsung mewek, kakinya menendang-nendang marah. Mungkin dikiranya biskuitnya diambil. Setelah biskuit dikembalikan ke tangannya, Hap! Bumi langsung anteng. Matanya fokus pada biskuit dan mulai berusaha makan lagi.

Wa Umi sudah bilang, saat memulai makan dia pasti akan cemong-cemong belepotan makanan. Biarin aja.. Namanya juga belajar makan. Kita juga seneng ngeliatnya mulai makan. 🙂