Salman kecil… Kamu di mana sekarang? Bagaimana kabarmu? Cukupkah makanmu? Sekarang hujan deras di sini.. Apa kau ada di jalanan dan kehujanan?
Semalam tanpa sengaja aku bertemu dengan Abi dan Ibumu di Stasiun Depok. Hampir lewat tengah malam.. Aku dan Ibumu sama-sama terdampar di stasiun ini, menunggu kereta ke Bogor yang baru melaju di Cikini. Artinya kira-kira satu jam lagi kereta datang.
Aku sudah sangat lapar, jam makan malam sudah lewat tenggat. Kursi-kursi tunggu sudah penuh. Akhirnya aku duduk lesehan di lantai stasiun, bersandar pada pot bunga besar. Mengunyah rangginang dari Su yang rasa enaknya terasa berlipat-lipat karena sangat lapar.
Wajah-wajah para penumpang yang menunggu kereta, muram. Badan sudah letih, mata sayu mengantuk, kereta masih jauh. Tak ada yang berselera berbincang. Setiap orang terbenam dalam pikiran sendiri-sendiri, atau hanya melamun menahan kantuk.
Karena sepinya malam, suara Abi dan Ibumu yang berbincang bisa didengar semua orang yang menunggu kereta datang. Aku pikir mereka sedang mengobrol biasa. Baru belakangan aku sadar kalau mereka sedang bertengkar. Adik bayimu, Salman, digendong Ibumu yang malam itu berkemeja merah dan berkerudung hitam. Badannya tipis, mukanya tirus duka, tanpa ada gairah hidup.
Di gendongan Ibumu, adik bayi perempuan itu tertawa-tawa minta diajak main. Dia belum mengerti kalau Abi dan Ibu sedang bertengkar.
Lalu kudengar Ibumu berkata pada Salwa, kakak laki-lakimu yang berkemeja garis-garis hijau hitam. “Nanti kamu ikut abi ya…” kata Ibumu sambil mengusap kepala Salwa. Kakakmu yang berumur empat tahun itu diam saja. Kepalanya mendongak menatap wajah Abi dan Ibu berganti-ganti. Matanya menyorotkan luka dan kebingungan.
“Mana Salman?” tanya Abimu tak sabar.
“Ada, pokoknya ada lah,” kata Ibumu ketus.
“Kenapa gue nggak boleh, nggak bisa ketemu Salman?” cecar Abi lagi.
Ibumu diam saja, Salman.. Tak menjawab Abimu. Abi kelihatan sedang rindu dan sangat mengkhawatirkanmu.
“A, di mana Salman? Elu jual ya? Elu suka nongkrong di mall kan? Minta-minta? Malu A, malu,” kata Abi yang mulai tidak peduli keadaan sekitar.
“Enggak.” cetus Ibumu.
Adik bayi perempuan masih tertawa-tawa minta diajak main. Tangannya berusaha menggapai-gapai daun dari pohon bougenvile yang potnya kusandari. Salwa kakakmu diam saja. Tentu tak berani ikut campur urusan orang tua.
Abimu terus-terusan mendesak tanya, “A, mana Salman A? Mana Salman?!” Kata Abi berulang-ulang. Dari balik jaket jeans belelnya yang tua, terlihat dadanya naik turun menahan marah.
Maaf Salman…, lanjutan cerita ini tentu melukaimu.. Tapi begitulah adanya, Salman. Begini jawaban Ibumu…
“Salman siapa?” Tanya ibumu.
“Lah, Salman A, Salman. Salman anak kita.”
“Salman siapa? Anak cuma dua, dua-duanya ada di depan mata.”
“Salman A, adiknya Salwa. Mana Salman?” Abi mengacak rambutnya sendiri, pusing dengan ulah Ibumu, Salman. Luka dan rindunya padamu menguar, meletup.
“Ih gila. Anak dua, dua-duanya di sini malah dicari-cari. Salman siapa? Ini anak dua-duanya sudah di sini. Gila ih…”
“Gila lu A, anak sendiri lu jual. Ga boleh gitu A, jangan pilih kasih sama anak, A. Kasih tau gue, Salman di mana?! Gue lapor polisi nih.” Abi mulai mengancam…
“Salman siapa? Lapor aja sana.”
“Bener ya gua lapor polisi?! Hayo A, sini lu ikut ke kantor polisi. Kita lapor, anak kita hilang.”
“Enggak. Kalo lu mau lapor polisi, ya lapor aja sana. Gue gak ikut.”
“A, yang bener lu, A. Di mana Salman? Lu jangan gitu A, lu berhijab tapi hati lu kotor. Dia gak berhijab, tapi orangnya baik,” kata Abimu. Entah siapa ‘dia’ yang dimaksud Abimu, Salman. Aku tidak mengenalnya.
“Oh baik ya. Saking baiknya sudah tinggal serumah walaupun belum menikah?” Suara Ibumu terdengar getir. Lukanya sudah tak berair mata, tak ada nada emosi. Tangannya mengusap-usap punggung adik bayi yang masih terus minta diajak main.
“SALMAN MANA A???!!!!”
“Salman siapa?!”
“PLAK…..!!” Abimu mendidih sudah. Hilang sabar menghadapi Ibumu.
Kemudian, Salman. Seorang laki-laki yang dari tadi mau tak mau menyimak pertengkaran Abi dan Ibumu terpaksa ikut campur. Dia memanggil satpam, meminta agar mengusir Abi dan Ibumu.
Cekatan satpam datang menghampiri Abi dan Ibumu. Ibumu yang pipinya pedas memerah, tetap tak berair mata. Justru sorot matanya menantang. “Memang, Pak. Memang begitu dia orangnya. Suka nyakitin,” cetusnya.
Satpam muda itu mengusir Abimu.. Mulutnya terkunci. Mungkin Abi merasa sia-sia kalau terus mendesak Ibumu. Ibumu tetap tak bicara di mana kau berada, Salman. Kemarahannya hanya jadi tontonan kami, para penunggu kereta.
Perpisahan keluargamu di Stasiun Depok malam itu begitu pahit, Salman. Abi menggandeng kakakmu, Salwa. Kakakmu diam saja. Kakinya tersandung-sandung mengikuti langkah Abimu yang cepat. Kepalanya menoleh ke belakang. Matanya menyorot Ibumu dengan luka. Ibumu buang muka, Salman… Entah seperti apa rupa luka hatinya, sampai ia tak punya belas-kasihan lagi pada Salwa yang terluka di depan matanya. Aku sedih, Salman. Aku berduka untukmu, Salwa dan adik bayimu.
Adik bayimu masih tertawa-tawa, Salman. Dia tidak mengerti perpisahan Abi, Ibu dan kakaknya Salwa. Aku ingin memeluknya, Salman. Tapi tak enak hati pada Ibumu yang tengah berusaha mendamaikan hatinya. Kereta datang… Ibu dan adik bayimu lenyap di tengah gerombolan penumpang.
Aku tidak mengerti…. Pertengkaran serupa apa yang melenyapkan rasa cinta Abi dan Ibumu. Sampai mereka tega saling mematah-matahkan hati. Lupakah mereka pada suka cita pernikahan mereka dulu? Lenyapkah kenangan kegembiraan mereka menyambut kelahiranmu, Salwa dan adik bayimu. Entahlah, Salman.. Aku tidak mengerti.
Hanya kukirim secarik doa.., semoga kau baik-baik saja, Salman.., juga Salwa dan adik bayimu…